Jalur
di depan mata terlihat dipenuhi dengan semak yang menutup pandangan mata.
Berkali – kali parang tebas dihantamkan ke tumbuhan merambat untuk membuka
jalur agar kami dapat melewati jalan. Onak duri beberapa kali pula menggores
jari yang tidak tertutup. Peluh keringat terus membanjiri tubuh tanpa henti. Beban
bawaan masih teramat berat pula karena ini masih awal perjalanan. Inilah sebuah
tantangan bertualang menempuh rimba yang sangat jarang dilalui oleh manusia. Sangat menantang dan juga sangat mengasyikkan
bagi para penjelajah.
Perjalanan
ini dimulai ketika sebuah pesan masuk ke gawai berisi ajakan dari seorang junior
di perhimpunan pencinta alam yang dulu
saya pernah aktif di dalamnya ketika masih memiliki status sebagai mahasiswa. Sebuah
perjalanan kembali mengajak saya untuk masuk jauh ke dalam rimba hutan hujan
tropis Sumatra untuk melewati semak belukar, lembahan, sungai yang mengalir
bersih, kabut, pepohonan besar dan tanjakan tanah yang saban kali amblas ketika
diberi beban tubuh. Semua memori tersebut segera merayap ke dalam pikiran dan tepat
pula, aku memiliki banyak waktu luang dan segera menyatakan diri untuk siap terlibat
dalam perjalanan tersebut.
Perjalanan yang memakan waktu ±3 dari Kota
Medan akhirnya membawa kami sampai di sebuah desa. Udara segar khas dataran
tinggi, pepohonan besar yang mengelilingi desa merupakan pemandangan yang teramat
indah dan menyenangkan. Tepat memang jika kembali ke desa merupakan sebuah
perjalanan rekreasi untuk melepas penat kehidupan kota. Tidak butuh lama, peta topografi
yang telah diberi tanda khusus dan GPS kami gunakan untuk menentukan titik awal
perjalanan. Dari peta topografi dan menganalisis peta tersebut, perjalanan yang
kami akan tempuh akan tercapai dalam waktu tidak sampai 2 hari penuh. Pagi hari
memulai perjalanan dan esok siang atau sore perjalanan telah berakhir di tujuan.
Perjalanan
awal memasuki medan bebatuan dan berganti dengan jalan beton yang terus
menanjak curam. Keringat terus mengalir dengan derasnya tanpa henti, jantung
berdegup sangat kencang karena medan yang terus menerus naik menanjak tanpa
henti ditambah beban bawaan yang masih penuh. Perlahan dengan sangat perlahan
kaki melangkah pelan. Jalanan beton di depan mata terus menanjak seperti tiada
berakhir. Meski udara sejuk, keringat seperti enggan untuk tidak keluar terus
menerus membasahi tubuh. Hampir 1 jam jalanan beton tersebut akhirnya bisa terlewati
dengan segala usaha dan jalan berganti dengan jalanan tanah yang dikelingi
rumah – rumah warga desa yang sangat bersahaja.
Perjalanan dimulai
Desa
yang kami lewati merupakan sebuah pemukiman masyarakat yang berasal dari Suku
Karo yang umumnya memang tinggal menetap di dataran tinggi Sumatra Utara. Mayoritas
masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Ketika kami
melewati desa, tidak banyak terlihat masyarakat. Kemungkinan mereka masih bekerja,
hanya anak-anak dan orang tua saja yang melemparkan senyum ramah ketika kami menyapa
mereka. Rumah masyarakat desa umumnya terbuat dari kayu dan memiliki desain yang secara keseluruhan hampir sama satu
sama lain. Terdapat pula 1 gereja tua yang terlihat tidak difungsikan lagi.
Suara anjing yang menyalak dengan keras pertanda
orang asing datang juga menemani kami selama menyusuri desa. Sampai hingga
batas desa, suara anjing yang menyalak dengan keras berakhir dan kami terus
melanjutkan perjalanan selangkah demi selangkah hingga desa tidak terlihat dan
terganti dengan tumbuhan kopi dan pepohonan di samping kiri dan kanan jalanan
bebatuan. Medan datar ditambah
pemandangan yang sangat memanjakan mata menjadikan langkah teramat ringan dan
menyenangkan. Perlahan menyusuri jalan menghantarkan kami di ujung jalan yang telah
berubah menjadi jalanan tanah dan lebih tertutup oleh pepohonan hutan. Dari sini,
peta kembali dibuka untuk menentukan jalur mana yang akan ditempuh karena
terlihat 2 percabangan jalan yang berbeda.
Jalur perkebunan warga desa
Perjalanan
kembali dilanjutkan melewati perkebunan warga yang tidak dijaga, Terlihat komoditi
kopi dan cabai yang ditanam. Mungkin karena kebun tidak dijaga, beberapa kali
kami harus menebas semak yang menghalangi jalan. Matahari semakin condong ke
atas dan tidak ada tutupan pepohonan besar di sekitar kebun yang kami lewati.
Parang tebas terus dihantam ke semak belukar yang terus menutup jalan yang akan
dilewati. Hingga akhirnya setelah berkutat dengan tebas menebas medan berganti
lagi dengan kebun yang masih ditutupi pepohonan besar. Peta kembali dibuka
untuk memastikan posisi dan jalur perjalanan yang masih berada tepat di jalur
yang telah ditentukan.
Jalur melewati perkebunan warga desa yang dipenuhi semak
Jalur
yang telah ditetapkan sebelumnya mengarahkan kami untuk turun menuju lembahan. Suara
gemuruh air sungai terdengar nun jauh di bawah kami berdiri. Terlihat rapatnya
pepohonan seperti benteng yang menghadang kami untuk melewatinya. Perlahan satu
per satu dari kami menuruni lembahan curam tersebut. Mata selalu awas untuk terus
mencari pegangan ketika turun. Perlahan akhirnya kami bisa keluar dari rapatnya
pepohonan dan medan yang sangat curam. Sungai yang kami dengar dari atas jelas
terlihat di depan mata. Anakan sungai tidak terlalu besar namum memiliki arus
yang sangat kencang. Memiliki air yang bersih dan sejuk.
Lokasi campsite
Tidak
jauh dari sungai kami telah masuk ke dalam sebuah lembahan yang sangat luas. Terlihat
lembahan ini dahulu merupakan bagian hutan hujan yang ditumbuhi oleh pohon –
pohon besar namun kini telah berubah menjadi semak karena tidak diolah langsung
oleh pembuka lahan. Terlihat di depan
mata, rimba hutan hujan tropis yang sangat luar biasa indahnya. Pepohonan besar
yang sangat rapat satu sama lain. Hutan
hujan tropis Sumatra yang sangat luar biasa indahnya dan membuat saya selalu
rindu untuk kembali kepadanya.
Melalui
serangkaian diskusi bersama dan melihat posisi pada peta diputuskan untuk bermalam
di lembahan. Hal ini diputuskan karena hari semakin sore dan jika perjalanan
dilanjutkan, lokasi berkemah akan dilakukan di punggungan yang curam serta tidak
ada sumber air. Setelah kesepakatan selesai dengan cepat kami segera mencari
lokasi berkemah yang aman dan tidak terlalu jauh dari sumber air. Terlihat batuan
andesit bermacam ukuran yang berserakan menutupi tanah. Pepohonan kecil yang
tumbuh dari pohon besar tumbang terlihat dimana – mana namun semua tumbuhan
yang ada tidak lebih tinggi dari ukuran manusia dewasa. Cuaca begitu cerah dan
momen yang paling menyenangkan, hanya kami disini di tengah kebesaran alam. Di
depan terlihat punggungan yang ditumbuhi rapatnya pepohonan besar dan di belakang
kami terlihat lembahan yang begitu luasnya dan terlihat pula pemukiman jauh
dibawah sana. Sebuah pemandangan indah tiada tara ditengah – tengah antah
berantah nun jauh di pedalaman.

Lembahan yang telah dipenuhi semak
Diantara
batu – batu besar kami dirikan tempat berkemah. Pembagian tugas dilakukan
dengan cepat. Ada yang memasak dan ada yang membuat api unggun. Tidak ada satu
orang pun yang berleha – leha, semua melakukan tugasnya masing – masing.
Selingan canda dan tawa diantara kami terus mewarnai malam itu. Sempat hujan
mengguyur namun dengan cepat pula guyuran hujan berganti dengan cerahnya langit
yang bertabur bintang – bintang yang berserakan dengan indahnya. Malam begitu
cerah dan kami berkumpul di api unggun karena suhu mulai turun dan semakin
dingin.Percakapan antar percakapan mengalir dengan lancar, minuman hangat baik
kopi dan teh panas menjadi pelengkap percakapan.
Hingga malam semakin larut, satu per satu diantara jatuh pada peraduannya masing-masing.
Berbalut kantung tidur dan dengan cepat kami pun terlelap dalam tidur.
Perencanaan
yang telah ditetapkan di hari sebelumnya membagi tim menjadi 2 untuk menempuh jalur
di kiri dan kanan punggungan. Meski punggungan terbagi menjadi 2 karena lembahan yang luas
pada akhirnya punggungan akan kembali menjadi satu pada sebuah titik tertinggi
dan titik tersebut yang menjadi tujuan kami. Bersama 2 orang lainya, Samuel dan
Tiwi, kami mendapat bagian merintis jalur kanan sedangkan Kevin, Agus dan Roby
akan merintis jalur kiri. Selepas
sarapan, mempacking ulang semua perbekalan serta mempersiapkan skema komunikasi
agar tim terus terkoneksi perjalanan kembali dilanjutkan. Pada sebuah titik tim
terpecah menjadi 2. Tim yang akan merintis jalur kiri terus menelusuri lembahan
besar dan tim yang merintis jalur kanan kembali menaiki lembahan curam yang di
hari sebelumnya dilewati.
Jalur rintisan
Bersama
Samuel dan Tiwi, kami kembali merintis jalur punggungan setelah bersusah payah
menaiki lembahan curam. Inilah sebuah absurditas sebuah kegiatan yang
sesunguhnya sangat melelahkan dan jauh dari kata nyaman. Entah kenapa selalu
ingin mengulangnya kembali. Meminjam kalimat pendaki kawakan asal Polandia, “pendakian
merupakan sebuah seni merasakan penderitaan”. Keringat kembali bercucuran dan
nafas yang terengah – engah karena menanjaknya medan yang kami lewati. Tangan
dan mata selalu awas untuk terus mencari pegangan agar tidak terperosok. Inilah
tantangan hutan hujan, tanah terasa sangat labil seperti lumpur ketika dipijak.
Sebuah momok bagi orang yang terakhir karena akan semakin sulit menjejakkan kaki
di tanah yang sangat lunak dan seringkali terpeleset ketika berjalan tidak
memegang pohon atau akar. Sebuah tantangan yang menguras emosi dan energi yang
harus dinikmati.
Beberapa
kali melihat peta dan melihat bentukan medan di sekitar merupakan sebuah
rutinitas yang dilakukan. Semak yang menghadang di medan yang menanjak
merupakan hal yang biasa. Sebuah hal yang dari awal telah kami sadari ketika
akan memulai kegiatan ini. Di sebuah titik di dalam hutan, di depan kami
terlihat tanah yang berbentuk tebing yang memiliki ketinggian ± 10m. Terlihat
tanah tersebut merupakan hasil longsoran. Kembali melihat peta dan medan
sekitarnya, kami putuskan untuk menaiki tebing tanah tersebut karena hanya ini
jalan yang ada dan kami harus lewati. Tiwi mencoba menaiki pohon untuk dapat melewati
tebing tanah tersebut namun keberuntungan belum berpihak kepadanya. Setelah
berdiskusi dan diputuskan, aku akan memanjat pohon yang menempel di tebing
tanah tersebut dan akan menarik ransel satu per satu dari atas. Tidak butuh lama, aku telah berada di atas dan
menarik ransel. Disamping itu, Tiwi dengan perlahan menaiki pohon tersebut. Syukurlah,
anak perempuan ini sangat mencintai olahraga panjat tebing sehingga dengan
mudah Tiwi telah sampai di atas.

Samuel berusaha dengan keras menaiki pohon dengan bantuan webbing
Sebuah
momen yang menegangkan terjadi ketika Samuel sebagai orang terakhir mendapat
giliran untuk memanjat. Terlihat dengan susah payah dia memanjat pohon
tersebut. Naik beberapa meter kemudian jatuh, naik kembali dan jatuh kembali. Peluh
keringat membasahi wajah dan tubuhnya dengan begitu banyak. Tidak ada
bantuan yang dapat dilakukan karena pohon yang hanya bisa dilewati oleh satu
orang. Samuel terus berusaha dengan kerasnya, beberapa kali dia berteriak
karena kedua tangannya tidak dapat membantu untuk menambah ketinggian. Teriakan
semangat kami lontarkan dan seutas tali pita aku lempar ke arah Samuel sebagai
alat bantu untuk terus naik. Aku ulurkan tangan untuk membantunya. Untuk berjaga
– jaga aku simpulkan tali pita di tubuh dan kutambatkan di batang pohon. Sebuah
tantangan bertualang yang sangat menegangkan dan menyenangkan. Setelah beberapa
kali mencoba dan terus mencoba akhirnya setelah perjuangan keras yang dilakukannya,
Samuel dapat berada di puncak tebing tanah. Aku raih tangannya dan berteriak
girang karena kami berhasil melewati tebing tanah yang curam tersebut.
Skema
komunikasi yang telah ditetapkan mewajibkan kami untuk memberi info posisi
terbaru di waktu tertentu. Tidak ada jaringan komunikasi seluler di tengah hutan rimba ini
praktis kami menggunakan HT sebagai media komunikasi. Melewati tengah hari kami
mendapat info, tim yang merintis jalur kiri telah sampai di tujuan. Tujuan kami
sebuah dataran yang cukup landai di tengah hutan. Sebuah titik yang ditandai
dengan angka ketinggian di peta bukan sebuah pilar yang umum dijadikan patok sebuah
ketinggian. Karena info tersebut, bersama Tiwi dan Samuel langkah kaki lebih
dipercepat. Secara umum hutan hujan yang kami lalui terawat dengan baik. Beberapa
kali pula aku berhasil mengabadikan tumbuhan dan flora unik seperti anggrek, dan bermacam jenis jamur yang ditemui di
jalur yang dilewati.

Kotoran hewan dan jamur unik yang ditemukan
Menjelang
titik tujuan, kami melihat adanya pembukaan lahan di tengan hutan. Terlihat pohon –
pohon besar telah jatuh ke tanah dan balok – balok kayu hasil dari pohon yang
telah jatuh nampak berserakan. Terlihat pula seorang pria yang sedang bekerja
membersihkan areal tersebut dan dengan ramah tersenyum dan menyapa kami. Hanya
dia seorang sendiri dan sebuah gubuk terdapat disana. Kabut dengan perlahan
jatuh dan suhu mulai turun dan dingin.
Pembukaan lahan di tengah hutan
Tanjakan
menjadi medan pendakian yang terus bersambung tiada putusnya. Terlihat pohon –
pohon besar ditutupi lumut pertanda hutan ini sangat lembab. Kabut terus turun
dengan seenaknya menambah kesan magis hutan yang kami lewati. Setelah melewati
tanjakan dan kami sampai pada sebuah medan yang lebih landai pertanda kami
telah berada di titik tertinggi. Tidak butuh lama dengan sahutan kami mendapat
sahutan balasan dari tim perintis jalur kiri. Kami akhirnya bertemu kembali di
sebuah titik landai yang tertutup pepohonan yang cukup rapat. Terlihat mereka sedang
merebus ubi dan dengan cepat pula ubi yang telah masak berpindah tangan kepada
kami yang baru datang.
Tim berkumpul kembali di titik tujuan
Setelah
berisitirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan kembali untuk turun menuju
peradaban. Tidak lama berjalan, hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Dengan
sigap kami menutup diri dengan raincoat agar tubuh tidak basah. Sebuah mimpi buruk ketika tubuh basah ditambah
suhu yang dingin. Hipotermia (penurunan suhu tubuh yang drastis) merupakan
momok menakutkan yang dapat merenggut jiwa jika tidak dicegah dan ditangani
dengan baik. Setelah menempuh jalanan yang basah dan beberapa kali terpeleset
akhirnya kami keluar dari batas hutan dan melihat jalan lintas dan warung makan
di depan mata. Perjalanan yang dilakukan selesai dilakukan sesuai dengan
rencana. Setelah keluar dari
hutan satu per satu dari kami mulai sibuk melihat ke seluruh bagian tubuh untuk
mencari pacat (haemadipsa) yang menempel di tubuh. Maklum saja, hutan yang kami lewati merupakan
wilayah lembab dimana tempat tersebut merupakan habitat yang tepat bagi hewan
penghisap darah seperti pacat.
Warung
di seberang jalan menjadi tujuan utama untuk
mengisi perut dan membersihkan tubuh. Perjalanan berhasil
dilakukan dan waktunya untuk memanjakan perut yang keroncongan sebelum kami
kembali. Di luar sana kabut masih tampak turun dari lebatnya pepohonan di atas sana seperti enggan untuk berhenti. “Kak, pesan nasi goreng pedas dan teh susu panas 1 ya” aku
teriak kepada penjual untuk mengisi perut yang telah teriak minta diisi.