Menikmati Derasnya Arus Liar Lau Biang – Wampu
Dayung kuat ! Teriak dari kapten pengarungan yang biasa disebut dengan skipper, semua anggota tim mengayuh dayungnya
dengan sekuat mungkin. Pekik teriakan pemacu semangat terdengar dengar jelas,
saat perahu karet yang ditumpangi meluncur dengan mulus di jeram yang telah
dilewati. Ya ini lah olahraga yang sangat memacu adrenalin, jeram besar di
sungai merupakan hal yang paling dicari dari para pencinta salah satu kegiatan
alam bebas ini. Pengarungan sungai yang memiliki jeram atau biasa disebut arung
jeram merupakan olahraga petualangan yang menyerempet bahaya. Sungai beraliran
tenang bukan media olahraga ini, kalau sungainya berbuih sampai memutih, itu
baru tempat yang cocok untuk kegiatan
petualangan yang satu ini. Whitewater
sport atau wildwater sport, merupakan nama beken dari olahraga di air ini.
Bukan sembarangan nama disematkan kepada olahraga petualangan yang satu ini,
dikarenakan lantaran air sungai yang diarungi memang berbuih,sampai memutih dan
tentu saja liar. Perahu yang merupakan alat utama untuk olahraga ini, juga
bukan merupakan perahu yang sembarangan. Tetapi perahu tersebut bertabung udara
yang tahan benturan batu dan guncangan dari jeram yang besar.
Target pengarungan sungai yang dipilih oleh tim ialah Sungai
Lau Biang. Sungai Lau Biang, merupakan sungai yang mengalir dari Tanah Karo sampai ke Kabupaten Langkat. Jika
di Tanah Karo sungai ini disebut dengan Lau ( sungai) Biang, dan jika di
Kabupaten Langkat, sungai ini biasa disebut Sungai Wampu. Sungai Lau Biang merupakan sungai yang sangat
bersejarah bagi masyarakat Karo. Sungai ini merupakan urat nadi kehidupan di
Tanah Karo, terutama di wilayah Karo Gugung, mulai dari Kabanjahe,sampai
wilayah Kecamatan Tiga Binanga daerah Tingga Lingga sampai ke Kabupaten
Langkat. Konon penamaan Lau Biang itu sendiri diambil dari cerita dimana salah
seorang nenek moyang marga Sembiring yang dikejar musuhnya. Kemudian ia
menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke sebuah sungai dan hampir tenggelam.
Seekor anjing menyelamatkannya dan membawanya ke seberang sungai tersebut. Dan
semenjak saat itu pula sungai tersebut dinamakan Lau Biang ( Sungai Anjing).
Dan marga Sembiring Singombak sebagai salah satu keturunan dari marga Sembiring
tersebut mulai saat itu berjanji untuk tidak memakan daging anjing. Uniknya
juga,sungai ini dianggap sungai suci oleh marga Sembiring Singombak. Karena
pada masa itu mayoritas masyarakat
Sembiring Singombak masih beragama atau menganut kepercayaan Permena
yang sering dikaitkan dengan agama Hindu. Ada kepercayaan pada masyarakat
dahulu tentang pembakaran mayat (ngaben) dan menghanyutkan perabuan mayat ke
sungai Lau Biang, yang konon juga dipercaya akan bertemu dengan aliran Sungai
Gangga di India yang dianggap sungai suci bagi pemeluk agama Hindu.
Belok kanan ayo cepat belok kanan, ketika di depan mata
kami terlihat batang pohon yang melintang. Semua personil tim mendayung dengan
semangat, dan kapten di perahu karet membelokkan dengan sekuat tenaga perahu
tersebut untuk bisa masuk ke aliran sungai yang diinginkan. Jalur sempit di
sebelah kanan sungai yang hanya bisa memuat untuk satu perahu karet menjadi
target tim di saat itu. Tentu saja, jika tim salah mengambil jalur yang
dipilih, bukan tidak mungkin perahu karet yang dipakai tim akan tersangkut di
batang pohon yang tumbang tersebut. Dan jika perahu karet tersebut tersangkut
di batang pohon, tentu saja menjadi suatu mimpi buruk yang akan dialami oleh
tim. Beruntung, tim bisa menyelesaikan
etape ini, perahu masuk alur sungai yang diinginkan. Rasa puas terlihat dari wajah
personil tim, teriakan yang memberi semangat terus didengunkan ketika suatu
halangan bisa dilewati dengan lancar.
Namun, pengarungan Sungai Lau Biang tidak hanya berhenti
disitu saja. Jalur sungai yang panjangnya berkilo-kilo meter masih menunggu
kami untuk diarungi. Jeram-jeram sungai yang di depan sana juga akan menanti
kami untuk segera diarungi. Ayo dayung lagi, ayo semangat suara dari kapten
pengarungan terdengar dengar jelas. Aliran sungai yang tenang menjadi santapan
disaat itu. Sesekali terdengar candaan
dan suara tawa dari para anggota tim, cerita khas anak muda masa kini menjadi
guyonan di saat itu.
Lau Biang memang sungai yang indah, jelas saja di sebelah
kiri dan kanan sungai ini masih terhampar
hutan tropis yang masih terlindungi dan terjaga kelestariannya. Sangat
menyenangkan berada di tengah-tengah hutan belantara ini, udara segar hutan
hujan tropis, suara dari hewan penghuni rimba, burung-burung indah yang
sesekali dengan malu-malu menunjukkan keindahannya. Sungguh indahnya alam
Indonesia, dan dari kegiatan ini menumbuhkan semangat cinta tanah air. Cinta
tanah air yang sehat, karena kami langsung melihat, merasakan dan menikmati
keindahan alam tersebut. Cinta tanah air yang bukan berasal dari slogan-slogan
palsu.
Perahu karet yang kami tumpangi membelah aliran Sungai
Lau Biang dengan mulus, dayungan pelan namun kompak sambil sesekali melirik ke
kanan dan ke kiri. Barangkali bisa melihat hewan yang sedang minum di pinggir
sungai. Dan terdengarlah dari kejauhan
deru air sungai yang besar. Sudah dapat dipastikan di depan sana, jeram yang
lumayan besar telah menanti kami. Kapten pengarungan berdiri untuk melihat
apakah jeram di depan tersebut bisa untuk diarungi apa tidak. Dengan kemantapan kapten pengarungan
menginstruksikan anggota tim untuk bersiap-siap. Ayo, ayo, ayo semangat jeram
itu di depan! teriak dari Wahyu (19 tahun) salah satu anggota tim yang paling
muda menularkan virus semangat kepada seluruh personil pengarungan. Dayungan
mulai dipercepat, dan jeram semakin nyata di depan nyata. Arus utama sungai
menuruni gradien (kemiringan sungai), jeram berdiri atau biasa disebut standing wafe langsung menerjang
moncong perahu sesaat menuruni gradien. Kuat,kuat, ayooooo dayung kuat,
teriakan dari buritan perahu terdengar dan langsung memacu semua anggota tim mendayung
dengan kuat. Teriakan kegembiraan terdengar, seakan memecah keheningan hutan
hujan ketika perahu karet berhasil meluncur dengan aman ketika melewati jeram
tersebut.
Lau Biang menunjukkan kelasnya, sungai ini bukan sungai
yang biasa. Jalur pengarungan yang cukup panjang, dari interprestasi peta
topografi yang tim lakukan, panjang
sungai yang akan diarungi ± 38 km, akses ke sungai yang berada di
tengah-tengah hutan, dan manajemen logistik yang harus benar-benar diperhitungkan
dengan baik.
7 jam mengarungi
Lau Biang, melewati jeram-jeram yang sangat menantang, melintasi keindahan hutan
hujan Sumatera, akhirnya sampailah tim di sebuah tempat yang akan dijadikan
tempat untuk berkemah. Tempat berkemah tim terletak di pinggir sungai. Sudah
lebih dari separuh jalur pengarungan telah tim lewati, memungkinkan
penyelesaian pengarungan sungai ini lebih cepat dari yang telah direncankan.
Pukul 16.00 WIB, langit sore itu sangat cerah. Deru aliran sungai, seperti
nyanyian yang menentramkan hati sekaligus jiwa.
Sungguh saat itu sangatlah indah, bercerita bersama teman seperjalanan
di pinggir sungai. Tertawa bersama, dan sesekali melirik ke rerimbunan pohon di
pinggir sungai. Disana, di kejauhan terlihat sekawanan monyet yang sedang bersiap
untuk tidur. Di tempat kami berkemah, sudah masuk di wilayah Kabupaten Langkat
sehingga Lau Biang yang tim arungi sebelumnya berganti nama menjadi Sungai
Wampu.
Pengarungan tim dilanjutkan esok paginya, segala
persiapan pengarungan diletakkan kembali di perahu. Raut wajah semangat untuk
bisa menyelesaikan pengarungan terlihat jelas dari para personil tim.
Pengarungan dilanjutkan kembali, jeram di aliran sungai disini tidak sebesar dan
sebanyak di Lau Biang. Pemandangan terbalik 1800 saat pengarungan di
aliran Sungai Wampu, di sisi kiri dan kanan sungai sudah jarang ditemukan
rerimbunan hutan hujan. Kebanyakan hutan telah berubah fungsi menjadi kebun.
Baik kebun sawit dan komoditas perkebunan lainnya, daerah aliran sungai ini
juga sudah banyak ditemui aktifitas warga. Ada yang memancing,menjala, dan mencuci
pakaian. Di aliran Sungai Wampu ini juga sudah banyak dilakukan penambangan
pasir dan batu-batu sungai. Penambangan dilakukan baik dengan alat berat maupun
dengan cara yang masih manual. Truk pengangkut pasir dan batu sesekali terlihat
lalu-lalang di pinggir sungai. Keserakahan manusia terlihat dengan jelas
disini, suara dari mesin alat berat yang dengan pongahnya terus mengeruk pasir
dan batu di sungai. Jelas saja para pencari ikan sungai khususnya ikan jurung
beralih mencari ikan tersebut di Lau Biang yang sungainya masih terjaga dari
keserakahan manusia dan jeram di Lau Biang lebih banyak dan lebih besar. Tentu
saja, ikan jurung merupakan ikan sungai yang hidup di aliran sungai yang
beraliran deras dan lingkungan sungai yang masih terjaga.
Ikan
jurung ( tor spp, Labeobarbus) yang
masih banyak ditemui di Lau Biang, karena kondisi lingkungan sungai yang masih
terjaga
± 4 jam pengarungan, tim akhirnya sampai di titik finish
pengarungan yang telah direncakan. Titik finish ini ditandai dengan adanya
Jembatan Bahorok. Dipilihnya titik finish pengarungan ini bukan tanpa sebab,
Jembatan Bahorok merupakan jalan lintas yang memudahkan tim untuk mendapatkan
transportasi untuk dapat kembali ke Medan. Perasaan senang dan bahagia karena
telah menyelesaikan operasi pengarungan sungai ini merupakan hadiah yang tak
ternilai harganya bagi tim. Seluruh
anggota tim berpelukan untuk menggambarkan kemenangan tim saat itu. Segala perjuangan selama ini,
terbayar lunas.Alam merupakan guru terbaik untuk menempah pribadi kami untuk
menjadi lebik baik lagi. Pribadi yang tangguh, tidak mudah menyerah, rasa
kesetiakawanan, merupakan sedikit hal
dari sekian banyak hal yang akan didapat dari berpetualang di alam bebas. Dan
disini, Lau Biang – Wampu merupakan guru terbaik bagi kami untuk mencapai
nilai-nilai tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar