Recent Posts

Popular Posts

Selasa, 25 Oktober 2016

Bertualang di Bumi Serambi Mekkah part III


 Kisah Dari Lembah Tenggara Bumi Serambi Mekkah
            Ransel yang berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lain untuk beberapa hari ke depan siap untuk disandang ke bahu. Pergulatan hati dan pikiran yang beberapa hari berkecamuk seolah runtuh, hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan tiada yang sempurna, layaknya sebuah kehidupan. Aku putuskan untuk sekedar melancong ke sebuah daerah yang berjarak ratusan kilometer dari tempatku saat ini. “Hidup butuh keseimbangan”, gumanku dalam hati. Manusia butuh suatu kesempatan untuk merasakan sebuah keindahan dan ketenangan alami. “Kembali ke alam” menjadi sebuah jargon yang menarikku untuk segera beranjak dari kota metropolitan yang sudah penuh sesak dengan segala kompleksitas yang melingkupinya.
            Minibus yang membawaku perlahan meninggalkan stasiun, tidak nampak kesibukan saat itu. Karena aku memilih malam hari, sebagai waktu keberangkatan. Di dalam bus, aku paksakan tubuh agar segera bersitirahat. Tidak hanya karena alasan tersebut, aku ingin segera sampai ke tempat tujuanku tanpa aku sadari. Jika memungkinkan, aku ingin menaiki sebuah pesawat berkecepatan cahaya agar bisa segera sampai ke tempat tujuan. Memang, saat itu, aku ingin benar – benar ingin keluar dan pergi dari rutinitas yang membelenggu selama ini. Sesekali – kali mata  terpejam, sesekali – kali terbuka. Sungguh sebuah momen yang tidak menyenangkan, ketika tertidur nyenyak dan secara tiba – tiba terbangun karena hentakan yang menggoncang tubuh karena minibus menghantam lubang. Namun, aku harus berdamai dengan kenyataan tersebut. Terkadang manusia harus berdamai dengan kenyataan yang ada, walaupun kenyataan tersebut tidak sesuai dengan keinginan, hati nurani dan pemikirannya. Manusia, sebuah hal rumit yang terdapat di bumi ini. Dan ilmu pengetahuan tiada keringnya untuk terus menelaah makhluk unik tersebut.
            ±10 jam, minibus yang membawaku berkelok – kelok melintasi jalan yang berliku, layaknya seorang penyanyi dangdut yang menggoyangkan pinggulnya untuk menarik para penontonnya untuk terus memberikan saweran kepadanya. Ketika sinar matahari masuk melalui celah dan menyentuh pelupuk mata, aku pun tersentak bangun dari tidur.  Sekarang aku berada di sebuah tempat yang selalu membuatku ingin selalu kembali. Sebuah lembah di tenggara Bumi Serambi Mekkah. Sebuah wilayah yang dikenal dunia kolonial, sebagai wilayah yang para pejuangnya bertaruh sampai tumpas untuk mempertahankan wilayahnya. Yang menggunakan tanaman bambu sebagai benteng pertahanan alami dalam pertempurannya. Sebagai media untuk selalu mengenang para pejuang pemberani tersebut, dibangun tugu pejuang di wilayah tersebut. Namun, sungguh sangat disayangkan, sama seperti kebanyakan masyarakat Indonesia lainnya, tiadalah pernah untuk menghargai sejarah masa lalu bangsanya. Tugu peringatan tersebut terpojok dan nampak tidak terawat.
Tugu Pejuang
            Tujuan pertamaku di lembah ini ialah sebuah kampus yang mengambil nama dari sebuah gunung yang telah dikenal dunia karena menyimpan keanekaragamanhayati yang tinggi dan menjadi nama salah satu taman nasional terbesar di Indonesia. Tiada sabar rasanya, untuk bertemu kembali dengan kerabat lama. Kerabat yang berbeda latar belakang budaya, dan hal tersebut merupakan suatu keindahan dalam dunia pluralrisme yang sangat aku sanjung.
            Tanpa banyak membuang waktu, kerabat dari lembah yang merupakan masyarakat asli dari sudut tenggara Bumi Serambi Mekkah tersebut, mengajakku untuk mencicipi kembali dinginnya air sungai kebanggaan mereka. Sungai yang dikenal oleh para petualang baik nasional maupun internasional. Sungai berarus deras, yang menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat lembah tersebut. Sungai yang masih banyak memberikan manfaat kepada mereka, dan tiada yang pernah mengetahui sampai kapan hal tersebut akan berlangsung. Sebuah perjalanan menghiliri sungai, sungai yang terus bermuara sampai ke Samudera Hindia. Namun, tujuan saat itu tiada sampai ke Samudera Hindia, namun ke sebuah tempat di pedalaman lembah tersebut yang sangat jarang dikunjungi oleh manusia. Dahulu, masyarakat yang mendiami daerah pesisir, menggunakan sungai tersebut sebagai jalur transportasi perdagangan. Garam, merupakan sebuah komoditas di masa lalu yang memiliki nilai jual yang tinggi. Begitulah kira – kira sebuah cerita masa lalu yang dilontarkan seorang kerabat kepadaku.  “Seperti hutan Amazon yang pernah terlihat di televisi” gumanku dalam hati, ketika kami terus menghilir jauh masuk ke dalam sungai tersebut. Namun di beberapa wilayah tersebut, hutan telah diganti menjadi ladang perkebunan.  Dan beberapa aktor pengalihan lahan tersebut diyakini oleh kerabat, dilakukan pejabat pemerintah daerah lembah tersebut. Sangat disayangkan memang, jika saja pemerintah lembah tersebut menjual daerah ini sebagai daerah wisata berbasis kelestarian alam. Dapat dipastikan, banyak wisatawan yang akan datang untuk melihatnya.  
Sudut keindahan lembah tenggara

            Perjalanan menghiliri sungai tersebut, kami isi dengan sajian Tasak Telu saat beristirahat malam di pinggiran sungai. Sebuah makanan khas masyarakat asli lembah tersebut yang walaupun hanya memakai 3 macam bumbu namun rasanya sungguh sangat luar biasa nikmatnya. Tiada sia - sia, aku tempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan semua ini. “Kembali ke alam”,  ya! aku rasai nikmatnya. Seperti masyarakat primitif yang belum memiliki kebudayaan modern, bersama kerabat membentuk sebuah kelompok komunal sama rata sama rasa yang bergantung penuh dengan alam sekitarnya tanpa membuat rusak sesuatu yang telah memberinya kehidupan. Menyegarkan mata, hati dan pikiran. Sebuah perjalanan batin, untuk mengenal diri lebih dalam dan benar – benar menyakini dalam hati “ manusia yang membutuhkan alam, bukan alam yang membutuhkan manusia”.

Pare, 25 Oktober 2016
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar