Kisah Dari Lembah Tenggara Bumi Serambi Mekkah
Ransel yang berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lain
untuk beberapa hari ke depan siap untuk disandang ke bahu. Pergulatan hati dan
pikiran yang beberapa hari berkecamuk seolah runtuh, hidup adalah pilihan. Dan
setiap pilihan tiada yang sempurna, layaknya sebuah kehidupan. Aku putuskan
untuk sekedar melancong ke sebuah daerah yang berjarak ratusan kilometer dari
tempatku saat ini. “Hidup butuh keseimbangan”, gumanku dalam hati. Manusia
butuh suatu kesempatan untuk merasakan sebuah keindahan dan ketenangan alami. “Kembali
ke alam” menjadi sebuah jargon yang menarikku untuk segera beranjak dari kota
metropolitan yang sudah penuh sesak dengan segala kompleksitas yang
melingkupinya.
Minibus yang membawaku perlahan meninggalkan stasiun,
tidak nampak kesibukan saat itu. Karena aku memilih malam hari, sebagai waktu
keberangkatan. Di dalam bus, aku paksakan tubuh agar segera bersitirahat. Tidak
hanya karena alasan tersebut, aku ingin segera sampai ke tempat tujuanku tanpa
aku sadari. Jika memungkinkan, aku ingin menaiki sebuah pesawat berkecepatan
cahaya agar bisa segera sampai ke tempat tujuan. Memang, saat itu, aku ingin
benar – benar ingin keluar dan pergi dari rutinitas yang membelenggu selama
ini. Sesekali – kali mata terpejam, sesekali – kali terbuka. Sungguh sebuah
momen yang tidak menyenangkan, ketika tertidur nyenyak dan secara tiba – tiba terbangun
karena hentakan yang menggoncang tubuh karena minibus menghantam lubang. Namun,
aku harus berdamai dengan kenyataan tersebut. Terkadang manusia harus berdamai
dengan kenyataan yang ada, walaupun kenyataan tersebut tidak sesuai dengan
keinginan, hati nurani dan pemikirannya. Manusia, sebuah hal rumit
yang terdapat di bumi ini. Dan ilmu pengetahuan tiada keringnya untuk terus
menelaah makhluk unik tersebut.
±10 jam, minibus yang membawaku berkelok – kelok melintasi
jalan yang berliku, layaknya seorang penyanyi dangdut yang menggoyangkan
pinggulnya untuk menarik para penontonnya untuk terus memberikan saweran
kepadanya. Ketika sinar matahari masuk melalui celah dan menyentuh pelupuk mata,
aku pun tersentak bangun dari tidur. Sekarang
aku berada di sebuah tempat yang selalu membuatku ingin selalu kembali. Sebuah
lembah di tenggara Bumi Serambi Mekkah. Sebuah wilayah yang dikenal dunia kolonial,
sebagai wilayah yang para pejuangnya bertaruh sampai tumpas untuk
mempertahankan wilayahnya. Yang menggunakan tanaman bambu sebagai benteng
pertahanan alami dalam pertempurannya. Sebagai media untuk selalu mengenang para
pejuang pemberani tersebut, dibangun tugu pejuang di wilayah tersebut. Namun,
sungguh sangat disayangkan, sama seperti kebanyakan masyarakat Indonesia
lainnya, tiadalah pernah untuk menghargai sejarah masa lalu bangsanya. Tugu
peringatan tersebut terpojok dan nampak tidak terawat.
Tugu Pejuang |
Tujuan pertamaku di lembah ini ialah sebuah kampus yang
mengambil nama dari sebuah gunung yang telah dikenal dunia karena menyimpan
keanekaragamanhayati yang tinggi dan menjadi nama salah satu taman nasional
terbesar di Indonesia. Tiada sabar rasanya, untuk bertemu kembali dengan
kerabat lama. Kerabat yang berbeda latar belakang budaya, dan hal tersebut
merupakan suatu keindahan dalam dunia pluralrisme yang sangat aku sanjung.
Tanpa banyak membuang waktu, kerabat dari lembah yang
merupakan masyarakat asli dari sudut tenggara Bumi Serambi Mekkah tersebut,
mengajakku untuk mencicipi kembali dinginnya air sungai kebanggaan mereka.
Sungai yang dikenal oleh para petualang baik nasional maupun internasional.
Sungai berarus deras, yang menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat lembah tersebut.
Sungai yang masih banyak memberikan manfaat kepada mereka, dan tiada yang pernah mengetahui sampai
kapan hal tersebut akan berlangsung. Sebuah perjalanan menghiliri sungai, sungai yang
terus bermuara sampai ke Samudera Hindia. Namun, tujuan saat itu tiada sampai
ke Samudera Hindia, namun ke sebuah tempat di pedalaman lembah tersebut yang
sangat jarang dikunjungi oleh manusia. Dahulu, masyarakat yang mendiami daerah
pesisir, menggunakan sungai tersebut sebagai jalur transportasi perdagangan.
Garam, merupakan sebuah komoditas di masa lalu yang memiliki nilai jual yang
tinggi. Begitulah kira – kira sebuah cerita masa lalu yang dilontarkan seorang kerabat
kepadaku. “Seperti hutan Amazon yang
pernah terlihat di televisi” gumanku dalam hati, ketika kami terus menghilir
jauh masuk ke dalam sungai tersebut. Namun di beberapa wilayah tersebut, hutan
telah diganti menjadi ladang perkebunan.
Dan beberapa aktor pengalihan lahan tersebut diyakini oleh kerabat, dilakukan
pejabat pemerintah daerah lembah tersebut. Sangat disayangkan memang, jika saja
pemerintah lembah tersebut menjual daerah ini sebagai daerah wisata berbasis
kelestarian alam. Dapat dipastikan, banyak wisatawan yang akan datang untuk
melihatnya.
Sudut keindahan lembah tenggara |
Perjalanan menghiliri sungai tersebut, kami isi dengan
sajian Tasak Telu saat beristirahat
malam di pinggiran sungai. Sebuah makanan khas masyarakat asli lembah tersebut
yang walaupun hanya memakai 3 macam bumbu namun rasanya sungguh sangat luar
biasa nikmatnya. Tiada sia - sia, aku tempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan
semua ini. “Kembali ke alam”, ya! aku rasai nikmatnya. Seperti masyarakat primitif yang belum memiliki kebudayaan
modern, bersama kerabat membentuk sebuah kelompok komunal sama rata sama rasa
yang bergantung penuh dengan alam sekitarnya tanpa membuat rusak sesuatu yang
telah memberinya kehidupan. Menyegarkan mata, hati dan pikiran. Sebuah
perjalanan batin, untuk mengenal diri lebih dalam dan benar – benar menyakini
dalam hati “ manusia yang membutuhkan alam, bukan alam yang membutuhkan manusia”.
Pare, 25 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar