MERAYAPI
KEMOLEKAN SIMARSOLPA
Dari kejauhan terlihat
sebuah tebing batu yang berwarna kelam yang menjulang tinggi dan berdiri
dengan kokohnya. Membuat siapa yang melihatnya takjub dengan kemegahan dan
keunikannya. Timbul pertanyaan – pertanyaan dari saya, darimana tebing batu
sebesar dan setinggi ini berdiri diantara perkebunan kelapa sawit yang
mengapitnya. Sungguh fenomena alam yang sangat menajubkan, dan tentu saja
seperti oase di tengah padang pasir. Melihat tebing batu andesit yang begitu
eksotis di hamparan perkebunan sawit yang seragam. Konon, dari cerita rakyat
tebing ini terbentuk karena hasil kunyahan sirih yang dilontarkan dari mulut
oleh seorang yang sakti. Dalam bahasa Simalungun, mengunyah sirih disebut
dengan “ Solpa”.
Inilah salah satu bentuk keindahan dan keeksotisan
Indonesia, tebing batu Simarsolpa yang terletak di bumi Simalungun. Tebing batu
andesit yang tingginya ratusan meter ini terletak di Nagori Durian Banggal,
Raya Kahean, Simalungun, Sumatera Utara. Untuk mencapai Nagori Durian Banggal
dapat ditempuh ±4 jam dari Kota Medan. Perjalanan dapat menggunakan angkutan
umum maupun angkutan pribadi. Untuk menggunakan angkutan umum dapat menggunakan
bus dari Medan menuju Tebing Tinggi, ada baiknya untuk menyewa minibus yang ada
di Terminal Tebing Tinggi agar bisa sampai ke rumah Pak Wir yang menjadi “juru
kunci” tebing batu tersebut. Selain bisa
sampai di rumah Pak Wir yang biasanya dijadikan basecamp, angkutan umum hanya
lewat sehari sekali karena tempatnya yang terpencil jauh dari pemukiman
masyarakat.
Perjalanan kali ini dalam rangka proses pendidikan dan
latihan kepetualangan alam bebas pemanjatan tebing batu yang diikuti oleh calon
anggota KOMPAS USU ( Koprs Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup
Universitas Sumatera Utara). Kegiatan ini masuk dalam materi kepetualangan alam
bebas khususnya panjat tebing. Kegiatan ini diikuti 10 orang calon anggota dan
6 orang anggota KOMPAS USU. Sesuai perencanaan, kegiatan ini menghabiskan waktu
4 hari operasional dimulai dari keberangkatan sampai berakhirnya kegiatan dan
kembali lagi ke sekretariat.
Kegiatan
dimulai dari sampainya tim di rumah Pak Wir yang merupakan juru kunci tebing
batu Simarsolpa. Beliau sudah puluhan tahun tinggal di wilayah sekitar tebing.
Dari rumah beliau untuk mencapai dasar tebing dibutuhkan waktu 15 menit
berjalan kaki dengan melewati hamparan perkebunan sawit. Beliau dan keluarganya
satu – satunya kepala keluarga yang menempati
wilayah dekat tebing Simarsolpa. Rumah sederhana dan bersajaha dengan
kandang kambing di samping rumah dan beberapa batang pohon coklat yang
menghiasi halaman rumahnya. Beliau sangat senang jika ada tamu yang akan
memanjat tebing batu Simarsolpa, apalagi jika yang datang sekelompok mahasiswa.
Beliau banyak bercerita tentang kelompok – kelompok mahasiswa yang melakukan
pemanjatan dan setiap bercerita kepada beliau selalu diselipkan dengan nasihat - nasihat kehidupan
untuk menjalani kehidupan dengan bijak.
Pada hari ke II, tim bersiap – siap untuk melakukan
pemanjatan. Setelah peralatan pemanjatan dipersiapkan, kami pun berjalan dengan
perlahan menembus perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh masyarkat. ± 15 menit berjalan kaki, mengantarkan kami
ke batas sisa ekosistem hutan hujan tropis. Dapat dipastikan karena sisa
ekosistem ini, dahulu tempat ini merupakan hutan yang sangat lebat. Namun
dengan berjalannya waktu, hutan tersebut diganti oleh masyarakat dengan
perkebunan kelapa sawit yang dapat memberi keuntungan ekonomis secara langsung
dan cepat bagi masyarakat. Hampir di berbagai sisi, lahan di sekitaran tebing
telah dijadikan masyarakat menjadi ladang perkebunan. Selain kelapa sawit,
coklat atau kakao menjadi tanaman perkebunan yang lain.
Samar – samar dibalik pepohonan khas hutan tropis yang
masih tersisa, batu besar yang akan kami “jamah” mulai terlihat. Dengan
semangat kami segera mendakatinya, dan terlihatlah dengan jelas di depan mata,
batu andesit yang ukurannya sangat besar dan tingginya membuat siapa saja yang
melihatnya menjadi kecut. Seperti
raksasa yang dengan pongahnya ingin mencapai batas langit.
Pemanjatan di hari I pun dimulai, segala peralatan
pemanjatan dipersiapkan. Tali kernmantle dinamis dan statis, carabiner, pengaman sisip seperti friend, chock stopper dan hexentrix menjadi pengaman dalam
menambah ketinggian dalam pemanjatan tebing batu. Tebing batu Simarsolpa
memiliki karakteristik memiliki banyak rekahan
atau biasa disebut crack
sehingga memudahkan dalam melakukan pemanjatan di tebing ini. Selain memiliki
rekahan dari dasar tebing, di 20 meter
dalam jalur pemanjatan sudah terdapat hanger
untuk membuat pengaman. Dahulu, sebelum ada hanger
para pemanjat menggunakan pengaman sisip seperti friend.
Pemanjatan dibuat dalam 2 jalur, untuk memaksimalkan
waktu yang ada. Jalur I ( jalur kiri) digunakan sistem pemanjatan sport ( pemanjatan yang menggunakan
pengaman tetap yang sudah tertanam di tebing, biasanya pengaman yang digunakan
hanger) . Sedangkan di jalur
II ( jalur kanan) digunakan sistem traditional
climbing ( sistem pemanjatan yang menggunakan banyak alat, dan pada umumnya
digunakan pada tebing – tebing besar yang memerlukan pemanjatan berhari –
hari).
Namun keberuntungan tidak memihak
kami di saat itu, tidak lama memanjat, langit menumpahkan air dengan derasnya.
Sontak semua bersiap – siap mengemas segala peralatan untuk bergegas kembali ke
basecamp. Tebing batu ini seperti air terjun jika hujan mengguyur, suatu
pemandangan yang menarik. Hujan berlangsung sampai sore, beberapa anggota tim
terlihat ke sungai untuk sekedar membersihkan badan. Saya pun tidak mau
ketinggalan untuk ikut dalam “ritual bersih – bersih” ini.
Di hari ke II, tim bersiap – siap
untuk melakukan pemanjatan kembali. Segala peralatan pemanjatan dan logistik
konsumsi untuk makan siang diangkut kembali menembus perkebunan kelapa sawit.
Sama seperti di hari sebelumnya, pemanjatan masih dilakukan di 2 jalur yang berbeda
dan 2 sistem pemanjatan yang berbeda.
Setelah semua calon anggota merasakan dan menikmati pemanjatan di
dinding batu, menjelang sore mereka kembali lagi ke basecamp. Setelah menunggu
beberapa saat, akhirnya kesempatan untuk merayapi kemolekan Simarsola dapat
juga saya rasakan. Dengan harness
yang melilit di pinggang dan beberapa alat pengaman, saya mulai memanjat dengan
perlahan. Kenikmatan menambah ketinggian sangat saya nikmati. Tangan yang
mencari pegangan , kaki yang terus menambah ketinggian dan mencari titik
keseimbangan dan alat pengaman untuk menambah ketinggian saya gunakan di celah
– celah bebatuan yang terus mengarah ke atas.
3
jam lebih , saya dan Yudi salah seorang anggota KOMPAS USU berhasil menyelesaikan
pemanjatan sampai ke pitch 1. Tinggi dari dasar tebing hingga mencapai pitch 1 ± 40 meter. Pitch dalam
pemanjatan tebing ialah stasiun pemberhentian untuk mencapai pitch berikutnya. Setelah saya memasang
pengaman di hanger yang telah
tertanam di tebing membuat tambatan / pengaman dan membuat fixed rope , Yudi mulai naik meniti
tali kernmantel semi statis yang berwarna putih dengan menggunakan alat mekanis
yang biasa disebut ascender. Perlahan
dia naik dengan alat tersebut tanpa perlu repot – repot menjamah tebing batu
untuk menambah ketinggian. Namun sebelum Yudi mencapai ke pitch¸ langit mendadak gelap dan secara cepat menumpahkan air. Hujan
kembali turun dengan derasnya, 2 hari
melakukan pemanjatan di Tebing Simarsolpa hujan selalu mengguyur “Tanah Simalungun”. Karena hujan yang semakin lama turun dengan
derasnya, dengan cepat saya membuka pengaman dan segera turun menggunakan descender (sebuah alat untuk turun yang
menggunakan gaya gesek, biasanya digunakan figure
of eight). Yudi pun dengan cepat pula membuka tambatan dan menyisahkan
seutas tali kernmantel semi statis yang menjulur sampai ke tanah sebagai
lintasan turun. Dengan menggunakan
simpul tarik, dia turun dengan cepat karena hujan yang sangat deras, rekahan tebing
mulai dialiri oleh air hujan sehingga tebing menjadi seperti air terjun. Air
dengan derasnya mengalir melalui rekahan – rekahan yang ada di seluruh
permukaan tebing. Batu besar ini basah dengan air hujan yang terus
“memandikannya”.
3
hari merupakan waktu yang sangat singkat untuk menikmati keindahan dan mencoba
“menjamah tubuh molek Simarsolpa”. Mungkin dibutuhkan waktu ±1 minggu untuk
menyelesaikan pemanjatan hingga mencapai puncak. Tidak hanya teknik pemanjatan
yang berbeda jika dibandingkan dengan
pemanjatan yang dilakukan di dinding panjat, peralatan pemanjatan seperti
pengaman sisip, tali kernmantel dan beberapa alat – alat pemanjatan lain
seperti piton (pasak yang dipasang
kedalam rekahan tebing), carabiner (cincin
kait sebagai tempat memasang pengaman dan dihubungkan ke tali kernmantel), figure of eight ( sebagai alat untuk
turun yang menggunakan gaya gesek), dan chock
stopper (logam berbentuk segi lima yang dipasang ke dalam rekahan batu dan
digunakan sebagai pengaman) namun, peralatan pemanjatan tebing batu tidaklah cukup, namun harus disertai dengan manajemen pemanjatan
yang baik karena pemanjatan yang akan dilakukan berhari – hari dan jalur
pemanjatan yang masih jarang dijamah oleh para pemanjat sehingga dapat
dikatakan Tebing Simarsolpa merupakan tebing batu yang masih perawan ,dan
masih banyak jalur pemanjatan yang baru dapat dibuat di berbagai sisi tebing
ini. "Simarsolpa"
menawarkan sebuah sensasi kepetualangan yang sangat menarik dengan pemandangan Tanah Simalungun yang indah, dan pastinya sensasi adrenalin "bermain di ketinggian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar