MENGGAPAI
PUNCAK SINDORO
Pendakian sesungguhnya dimulai, saat sinar mentari mulai
memberikan cahaya untuk menyinari seisi bumi. Berbekal air minum, beberapa buah
coklat dan sebuah kotak P3K. Saya dan seorang kerabat bersiap untuk bergerak
menuju puncak. Tanpa mencuci muka dan menggosok gigi, seperti kebiasaan saya
saat berada di kota ketika akan melakukan aktivitas di pagi hari. Udara dingin
khas dataran tinggi tiada segan membelai tubuh. Jaket orange dan syal segera
melekat erat tubuh ini untuk melawan dingin yang menusuk layaknya jarum yang dihujani
ke tubuh. Beberapa pendaki lain juga mulai keluar dari peraduannya dan memulai
sebuah kehidupan kembali.
Setelah “memanaskan” otot – otot tubuh, kami pun berdoa
kepada Sang Khalik agar diberikan kemudahan dan kelancaran dalam summit attack. Kaki pun melangkah dengan
perlahan, setapak demi setapak jalur pendakian menuju puncak kami tempuh. Dalam
target “penyerangan menuju puncak”, kami tidak ingin terburu – buru. Selain
ingin melihat pemandangan indah yang tersedia di sekitaran jalur pendakian,
kami ingin pula membiasakan tubuh ini untuk terbiasa dengan wilayah ketinggian.
Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki lain yang
memiliki misi yang sama. Ucapan saling memberikan semangat terasa memberi arti,
saat napas mulai terengah – engah menaiki jalur pendakian yang semakin lama semakin
menanjak. Jalur pendakian masih terdiri
dari tanah yang dikelilingi oleh semak dan pohon. Angin yang mengalir deras
menemani kami dalam perjalanan itu. Jika berhenti sejenak saja, sudah pasti
rasa dingin dengan segara menjalari seluruh tubuh.
Di
beberapa titik jalur pendakian terdapat batuan andesit yang berserakan, mungkin
hasil lahar Gunung Sindoro yang membeku ribuan atau jutaan tahun yang lalu.
Sebuah pemandangan yang unik dapat ditemui di Pos IV, beberapa buah batu
andesit dibentuk dengan apik seperti sebuah gundakan batu yang dijadikan tempat
untuk sekedar duduk dan sebuah tempat untuk mengabadikan momen.