Recent Posts

Popular Posts

Rabu, 29 April 2020

PERNAH MENJADI MUSAFIR

          Berbekal pakaian dan sedikit uang. Keyakinan yang tak tertahankan untuk bertualang meskipun di bulan Ramadhan membuat kami 4 orang lelaki tangguh cap jempolan menyatakan dengan sikap kesatria untuk menunaikan hasrat yang telah lama terpendam. Tidak kata untuk menolak atau berbalik sikap. Semua mengatakan siap, meski ‘logistik’ terbatas. Toh, kami percaya diluar sana, khususnya masyarakat Indonesia memiliki gen maha pemberi dan maha kasih kepada saudara – saudarinya yang menjadi musafir. Teori yang kami yakini tersebut menjadi dorongan untuk menjadikannya  dalam tataran praktek. 
            Lintas kota , lintas provinsi kami jajal dengan 2 sepeda motor . Bermula dari sebuah desa yang dikenal sebagai ‘ kampung bahasa’ perjalanan saat itu kami mulai. Tengah malam, waktu yang sengaja kami pilih agar perjalanan kami dapat berjalan dengan sempurna tanpa hambatan berarti dari ramainya kendaraan. Belum jauh kami berjalan, seorang dari kami menemui rekan se-organisasinya untuk mengganti sepeda motor yang lebih ‘sehat’. Seperti informasi pada paragraf di atas, kami memulai perjalanan ini dengan semangat 45 dan keyakinan akan kebaikan masyarakat Indonesia yang sekiranya dapat menolong kami. Terbukti , dengan bermodal pulsa dan sedikit basa – basi , dia mendapat sepeda motor yang lebih layak jalan dibanding sepeda motor bututnya. 1 kisah yang berhasil telah menguatkan teori yang kami yakini secara praktek.


Ayub , Banyuwangi Juni 2017



           Sepeda motor kami pacu dengan secepat kilat, kami berhenti hanya untuk mengisi bahan bakar. Kami rencanakan ketika matahari menyinari bumi, kami telah ada di ujung timur Pulau Jawa. Layaknya perlombaan Moto GP, kami saling memacu kendaraan , seperti tidak mau kalah diantara 1 sepeda motor dengan sepeda motor lainnya. Itu bukan tanpa alasan, kami memacu kendaraan agar kantuk bisa tergantikan oleh adrenalin yang terpacu di tengah gelapnya malam di jalan lintas trans Jawa. Sesekali , truk – truk besar nampak melintas di jalur yang juga kami lewati. Sebelum subuh, kami telah sampai di Besuki untuk melaksanakan sahur. Mengisi perut yang keroncongan karena terhempas angin malam. 
        Sego kucing, gorengan dan minuman panas menjadi menu untuk menambah kalori sebelum kami melanjutkan perjalanan panjang kembali. Tak butuh waktu lama, perut yang keroncongan memberi respon ke otak untuk menggerakkan tangan dan mulut. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya makanan yang tersaji di depan mata telah ludes tak bersisa. Untuk menutup kenikmatan dalam mengisi perut ‘ upacara ngudut’ dan segelas kopi atau teh panas menjadi perpaduan yang maha asyik. Paripurna pula upacara makan – makan tersebut. 
        Ada hal yang menarik, tak terkira. Kami melewati pula wilayah Panarukan yang menjadi titik akhir Daendels , sang Jenderal Perancis pada abad – 18, mengakhiri mega proyek jalan lintas yang menghubungkan barat dengan timur Pulau Jawa. Sungguh sebuah momen yang tiada terlupakan buatku secara pribadi karena mengetahui kisah romantika dan perjuangan dalam pembuatan jalan raya pos tersebut. Tidak hanya itu, jalan trans yang kami lewati tersebut membawa kami dapat melihat begitu megah dan besarnya pembangkit listrik tenaga uap Paiton. Begitu pula dengan sepi dan magisnya aura hutan jati Taman Nasional Baluran. Sungguh menakjubkan.

     
                                                 Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi


          Selepas sepeda motor telah masuk ke dalam ‘perut’ kapal penyebrangan, kami dengan segera mencari tempat untuk sedikit dapat melepas lelah setelah berjam – jam tubuh dipaksa bekerja. Tidak sampai 1 jam, perjalanan melintasi provinsi kami tunaikan sudah. Kami telah menjejak Pulau Dewata (Bali). Pelabuhan Gilimanuk yang menjadi pintu masuk, ditandai dengan sebuah objek yang khas. Patung setinggi kurang lebih 20 meteran bercorak biru – kuning yakni patung Siwa Mahadewa seperti menyambut kedatangan kami. Pemandangan yang kami lihat berubah 180 derajat ketika menjejak di pulau yang untuk pertama kalinya dapat kami jejak. Aura khas dan begitu pula objek – objek peribadatan tampak terlihat jelas di berbagai sudut. Sungguh sangat menarik dan unik. Pantas saja, begitu banyak manusia dari berbagai belahan dunia menyambangi pulau yang indah ini.

Menu berbuka puasa gratis yang diberikan oleh perantau dari Sumater Barat yang memiliki usaha di Denpasar, Bali

        Tepat dengan waktunya berbuka puasa, kami akhirnya sampai di Denpasar. Ibukota provinsi ini tidak jauh berbeda dengan kota – kota besar lainnya. Dengan sigap, kami mencari warung yang menyajikan makanan atau minuman. Buah dan es campur menjadi menu pilihan kami saat itu untuk berbuka puasa dengan yang makanan dan minuman manis terlebih dahulu. Tidak butuh waktu lama kami mendapatkan warung yang menjajakan dagangan yang sesuai dengan harapan. Tak diduga ternyata, pedagang tersebut berasal dari Sumatera yang memiliki kesamaan wilayah dengan 2 orang diantara kami. Dengan singkat kami dapat begitu cepat akrab dengannya. Kami bercerita darimana kami berasal dan tujuan yang akan kami tempuh. Mungkin karena melihat penampilan kami layaknya pemuda yang hanya dapat 2x makan dalam sehari dengan tulus dia memberikan gratis barang dagangannya. Es campur dan buah kurma gratis menjadi santap sore kami saat itu dalam menutup puasa. Teori yang kami yakini kembali terwujud dalam tataran praktek.
            Dengan berbekal ‘logistik’ yang terbatas kami harus pandai memanfaatkan apa saja yang dapat dimanfaatkan. Kami tidak rela jika beberapa lembar uang dari kantong kami terpakai untuk membayar biaya sewa penginapan. Bukan karena pelit, namun kami harus sangat selektif dalam pengeluaran agar kami bisa dapat lebih lama bertahan menikmati perjalanan panjang ini. Seorang diantara kami mulai mencari – mencari nama di telepon selularnya untuk dimintai pertolongan. Sempat terlantar berjam – jam karena tidak mempunyai arah untuk kemana lagi, akhirnya Tuhan membantu kami para musafir ini. Kami mendapat tumpangan untuk bersitirahat semalam. Di sebuah kamar kost yang sempit tersebut kami mendapat tempat utnuk tidur dengan layak. Dengan lelapnya karena kelelahan kami tertidur dengan pulasnya. Tidak hanya tumpangan gratis yang kami dapatkan, kerabat yang kami tumpangi tempatnya tersebut juga memberi kami makanan sahur dengan gratis. Nasi Jinggo khas Bali menjadi menu sahur kami. Menjadi musafir layaknya tamu yang harus disambut dan dibantu. Mungkin karena kasihan juga melihat kami yang serba terbatas dan serba nekat ini, sehingga ada saja yang tanpa pamrih memberi bantuan.
Menghabiskan malam di sebuah pom bensin, Denpasar, Bali
             Berbekal semangat dan keyakinan yang membara. Kami berhasil mengujungi beberapa tempat wisata di Bali. Menikmati suasana hiruk pikuk manusia malam di Legian , larut dalam suasana sunset di Pantai Kuta, berdecak kagum melihat Garuda Wisnu Kencana dengan ditemani beberapa botol minuman khas Bali yang kami dapatkan dari teman – teman dari Timur, berteriak kegirangan melihat Pantai Pandawa yang begitu eksotis karena jalan masuknya dahulu merupakan tebing – tebing batu yang dibuka oleh masyarakat lokal. Hingga nyaris tenggelam ditelan ombak Pantai Pandawa karena melewati batas aman yang telah ditetapkan. Tidak lupa pula, untuk sekali dalam seumur hidup dapat menggunakan sepeda motor melewati jalan tol Benoa. Sungguh pengalaman dan perjalanan yang tidak mudah dilupakan tentunya. 

 Para musafir yang takut lapar, Pantai Pandawa, Bali

             Kurang lebih 4 hari kami habiskan waktu selama menjelajahi Pulau Dewata. Keindahan alam, keunikan budaya seakan tiada hilang hingga saat ini. Begitu pula dengan cara kami melakukan sebuah perjalanan yang kami lakukan dengan semangat muda yang membara dan teori keyakinan yang kami yakini sebagai penguat hati dan diri bahwa masyarakat Indonesia itu sesungguhnya merupakan masyarakat ramah dan senang memberi bantuan kepada para musafir yang melakukan perjalanan. Cobalah dan buktikan teori yang kami yakini tersebut dalam perjalanan anda. Semoga sukses dan berhasil dalam melakukan perjalanan yang tidak biasa.
               Teruntuk Ayub , Rauf dan Rudi ,dimana pun kalian berada. Tulisan perjalanan ini diciptakan untuk mengenang kembali perjalanan yang telah kita lalui bersama. Semoga kalian terhibur dan dapat menghadirkan kembali memori – memori yang telah terlewati. Semoga TYME memberi kesehatan kepada kalian dan semoga kita dapat mengulang kembali perjalanan di waktu dan di tempat yang berbeda.