Telinga saya terus awas untuk mencari suara yang
melengking tinggi memecah keheningan hutan. Hanya kami berdua dengan seorang
kerabat duduk manis sekian jam untuk mencatat durasi suara yang sangat indah
tersebut. Namun sangat disayangkan, meski di tengah hutan sekalipun dan jauh
dari pemukiman warga terlihat pembukaan hutan dan pohon – pohon besar yang
telah rebah di tanah. Hutan hujan yang sangat indah tersebut terancam kelestariannya
jika perambahan hutan terus dilakukan tanpa ada pembatasan.
Perjalanan untuk meneliti dan memastikan primata yang
dilindungi Hylobates Agilis (Owa) dan Symphalangus Syndactylus (Siamang)
yang masih terdapat di habitat alaminya, membawa saya menempuh perjalanan
melintasi beberapa kabupaten untuk sampai di sebuah desa terpencil di pedalaman
Hutan Tapanuli, Sumatera Utara. Sebuah desa yang berlokasi di tapal batas hutan
lindung Tapanuli yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Kurang lebih hampir 10 jam untuk dapat mencapai sebuah
lembah yang dikelilingi oleh perbukitan hutan hujan dan berhawa sejuk. Sipirok
merupakan sebuah lembah yang akan menjadi starting point untuk
melengkapi seluruh kebutuhan tim sebelum berangkat menuju pedalaman Hutan
Tapanuli. Semua perbekalan baik logistik makanan, logistik penelitian dan
pendukung lainnya disiapkan di kota kecil dan bersahaja ini.
Keberangkatan dimulai ketika sebuah angkutan kota
berukuran sedang kami tumpangi sebagai moda transportasi untuk mencapai sebuah
desa pertama sebelum mencapai desa yang sesungguhnya sebagai awal perjalanan
dimulai. Ada hal yang unik pada desa pertama yang kami kunjungi. Di desa
tersebut warga mengatakan terdapat arca batu khas peninggalan kebudayaan Hindu
dan Budha di gua – gua sekitar desa
tersebut. Telah datang para peneliti dari sebuah kampus negeri ternama di
Yogyakarta yang melakukan penelitian untuk menyibak misteri arca – arca
tersebut. Sebuah hal yang sangat menarik informasi tersebut ditambah pula di
desa tersebut masih sering ditemui primata langka seperi Owa, Siamang, Burung
Enggang, Beruang, Orang Utan dan menurut penuturan warga Harimau Sumatera sempat
pula terlacak keberadaannya dengan adanya tapak, cakaran dan kotorannya.
Tak diduga, desa yang menjadi tujuan penelitan masih
jauh di pedalaman dan karenanya kami membutuhkan angkutan yang siap menempuh
medan berat untuk mencapai tujuan. Beruntungnya, kepala desa memiliki mobil 4wd
bak terbuka yang siap membawa kami. Dengan cepat pula logisitik dipindahkan dengan
cepat dan kami telah siap untuk melakukan perjalanan kembali setelah beramah
tamah, mencari informasi, dan makan siang di kantor desa.
Perjalanan sesungguhnya dimulai, wajar saja perangkat
desa memiliki mobil yang tepat bagi medan yang berat karena secara umum jalanan
desa belum terlalu baik serta memiliki tanjakan dan turunan yang curam. Sebuah
perjalanan yang menegangkan dan serta pemandangan yang tiada tara begitu
indahnya sepanjang mata memandang.
Medan perjalanan yang tidak biasa, memaksa kami untuk
memegang erat bagian mobil yang dapat dipegang. Guncangan keras ketika mobil
menghantam bebatuan merupakan momen dimana kekuatan tangan untuk menggenggam
menjadi kewajiban jika tidak ingin jatuh di jalur perjalanan yang belum teramat
baik. Hanya di beberapa bagian jalanan desa telah di beton dan seperti jalan khas di daerah pedalaman, jalan lintas
masih berupa tanah dan serakan bebatuan. Sensasi guncangan yang teramat sering
merupakan sebuah kesenangan bagi kami pula untuk dapat menikmati kondisi
jalanan yang tidak ada dalam bayangan kami sebagai masyarakat yang tinggal di
kota metropolitan.
Kekaguman melihat hutan tropis dan sungai yang besar
berhasil mengalihkan kondisi jalanan yang terus bergoyang kesana kemari. Inilah
petualangan yang sesunguhnya, sebuah petualangan untuk mencapai tempat – tempat
yang sulit dijangkau. Jika tidak tanpa kesulitan maka nilai sebuah petualangan
akan berkurang pula kadarnya. Tantangan dan kesulitan merupakan 2 kata bagi
saya ketika melakukan sebuah perjalanan.
Dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam dari desa
pertama untuk menuju desa tujuan. Desa yang dinamai sebagai sebuah tempat yang
dahulu banyak dipenuhi rotan menurut penuturan masyarakat lokal. Selain itu,
desa ini dibuka ketika banyaknya pengungsi ketika Perang Batak melanda Tanah
Tapanuli. Ketika pemerintah kolonial Belanda melancarkan perang untuk
memperluas pengaruhnya di setiap sudut nusantara. Para pengungsi tersebut
diyakini sebagai pembuka desa pada awalnya dan diyakini desa ini telah berumur
lebih dari 150 tahun. Penuturan warga akan hal tersebut semakin menyakinkan
ketika saya melihat sebuah nisan yang memiliki tanggal sekitar tahun 1800-an!
Desa ini sangat bersahaja, listrik telah mengaliri di
setiap sudut rumah warga. Air mengalir meski terkadang mati. Bagi waga desa
yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air, warga melakukan aktifitas mencuci dan mandi yang dilakukan
di kamar mandi umun yang memiliki sekat. Setiap pagi dan sore kabut
menyelimuti desa dan tepat di ujung desa terlihat megah dan indahnya rimbunan
pepohonan khas hutan hujan tropis. Siang hari merupakan momok karena hawa
begitu terik. Sebuah perubahan suhu yang cukup ekstrim berubah ketika pagi dan
sore teramat sejuk namun segera berubah ketika siang hari.
Masyarakat desa pada umumnya memiliki mata pencaharian
sebagai petani pisang. Hampir di setiap sudut desa ditanami dengan perkebunan
pisang. Selayaknya desa lain, ketika ada seorang petani yang berhasil menanam
sebuah komoditi dan memiliki harga jual yang baik maka secara cepat warga desa
lainnya mengikuti hal tersebut tanpa mempertimbangkan berbagai hal. Kini
menurut penuturan warga, hasil panen pisang menurun karena pohon pisang yang
banyak mati tanpa ada sebab yang jelas meski telah dilakukan berbagai cara
untuk mengatasinya.
Rumah kepala desa merupakan rumah termewah di desa
ini. Meski terbuat dari kayu dan semen namun interior rumah tersebut terlihat
mewah yang menunjukkan status pemilik rumah tersebut sebagai pejabat desa.
Kepala desa yang masih teramat muda belum berusia 30 tahun. Perawakannya kurus
dan tenang, lebih banyak mendengar daripada bercerita. Terlihat kepala desa
seolah menjaga jarak dengan para pendatang seperti kami namun itu semua tidak membuat
suasana kaku. Ada saja warga desa yang saban tiap hari datang ke rumah kepala
desa untuk bercerita bersama kami, bernyanyi dan meminum tuak (air aren yang
difermentasi).
Secara umum warga desa memiliki keramahan. Senyum
mereka akan mengembang ketika menyapa mereka. Terdapat pula beberapa rumah tua
khas Tapanuli di desa dan lebih banyak bangunan rumah terbuat dari semen.
Modernisasi telah menyentuh desa ini, terlihat dari pakaian dan segala
peralatan modern lainnya yang dapat ditemukan di desa. Hanya sinyal
telekomunikasi yang sama sekali tidak berfungsi di desa ini. Praktis jika ingin
menggunakan komunikasi, wajib membeli sebuah voucher yang dijual istri kepala
desa yang berisi deretan angka sebagai password. Istri kepala desa menggunakan
sebuah tower mini untuk dapat menjangkau jaringan internet meski internet yang
ada tidak sebaik yang dibayangkan. Sebuah
hal yang menarik di sebuah desa terpencil.
Tidak berlama – lama untuk beristirahat, esok hari
perjalanan untuk mencapai lokasi pengamatan dimulai. Tim besar dibagi 2 yang
setiap tim terdiri dari 6 orang ditambah 2 warga lokal sebagai porter dan
penunjuk arah. Tim 1 mendapat lokasi pengamatan
yang jauh di dalam Hutan Tapanuli. Tim 2 mendapat lokasi pengamatan tidak
terlalu jauh dari desa kurang lebih 2 jam dibutuhkan untuk mencapai titik
pengamatan. Hutan pinus merupakan medan
lokasi pengamatan di minggu 1 dari total 3 minggu pengamatan yang akan
dilakukan.
Metode pengamatan dilakukan dengan mencatat durasi
suara yang dikeluarkan Owa dan Siamang. Pengamatan dimulai setiap hari dimulai
dari jam 5 subuh hingga pukul 11 pagi. Selama pengamatan yang berlangsung, saya
mendapat sebuah hipotesis. Suara Owa selalu dimulai di pagi hari hingga
menjelang pukul 10 pagi. Suara Owa betina memiliki suara yang sangat melengking
tinggi berbeda dengan suara Owa jantan yang lebih tenang. Suara Siamang akan
muncul ketika matahari telah naik dan ketika Siamang mengeluarkan suara, Owa
akan menghentikan “nyanyian’’ mereka. Seperti sebuah kode etik bagi primata
untuk saling menghargai satu sama lain.
Teknis pengamatan mengikuti acuan peta yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tim pengamatan memiliki kewajiban melakukan pengamatan di titik
yang telah ditentukan. Tidak hanya hutan pinus, medan pengamatan berpindah –
pindah. Minggu kedua medan pengamatan memasuki hutan tropis dan di minggu
ketiga merupakan perjalanan yang sangat menantang dan lebih sulit untuk dicapai
dibanding lokasi pengamatan sebelumnya. Pada pengamatan di minggu kedua dan
ketiga terlihat hal yang sangat miris. Batang – batang pohon besar terbujur di
tanah dan balok – balok kayu berserakan dimana – mana.
Meski berstatus hutan lindung menurut penuturan warga
desa, pejabat yang khusus menangangi konservasi sumber daya alam tidak pernah
datang ke desa untuk melakukan sosialisasi. Maka tidak heran, ketika di malam
pertama tim sampai di desa dan mengutarakan niat untuk melakukan pengamatan
primata yang dilindungi, warga desa dengan bangga telah berburu dan menyantap
hewan buruannya tidak hanya rusa, babi hutan namun sampai Orang Utan dan Macan!
Disini tidak berlaku hukum pertanahan, masyarakat desa hanya menyakini seluruh penjuru mata angin desa merupakan tanah yang berhak mereka olah. Karena pandangan seperti itu meski di tengah hutan pun dapat terlihat pembukaan lahan hutan yang akan digunakan sebagai kebun atau kayu dari pohon tersebut dijadikan bahan bangunan atau saung di kebun. Secara umum hutan di sekitar desa masih terjaga namun hal ini juga merupakan sebuah alarm peringatan agar hal ini tidak berubah di masa mendatang.Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengedukasi warga desa tentang batas – batas hutan lindung, satwa dan flora yang dilindungi. Hal ini kami dapatkan dari percakapan dengan beberapa warga desa akan minimnya pengetahuan mereka untuk terus menjaga hutan sesuai peraturan yang berlaku.
Perjalanan mencapai titik – titik pengamatan sangat
menyenangkan ditambah akan hangatnya suasana antar tim. Momen yang paling
menyenangkan ketika memasak makan malam. Umumnya, kami memasak menggunakan api
unggun dan menu ikan kuah bersantan merupakan menu yang sangat dinantikan
setiap malam. Selepas makan malam dimulai dari minggu pertama dan kedua ditutup
dengan minum tuak bersama. Tuak diambil ke desa oleh porter yang berbaik hati
yang rela berjalan sendirian untuk mencapai desa. Di minggu ketiga suplai tuak
terhenti karena titik pengamatan yang jauh dari desa. Api unggun, minuman
panas, rokok merupakan pendamping yang selalu ada ketika malam telah semakin
larut dan kami tenggelam atas perbincangan hidup yang terus mengalir.
Pada semua titik pengamatan, primata baik Owa dan Siamang masih kami temukan suaranya meski secara fisik tidak dapat terlihat secara langsung dan hanya 2 kali saya melihat Siamang secara langsung di atas tajuk pohon yang hanya sebentar pula karena baik Owa dan Siamang memiliki respon yang cepat untuk pergi ketika melihat manusia. Selain primata terdapat pula berbagai flora dan fauna lain seperti anggrek, kantung semar, katak bertanduk, cicak terbang, Burung Enggang, dan berbagai jenis burung dengan bermacam warna. Jika ditelusuri lebih dalam dan lama, bukan tidak mungkin keanekaragaman hayati lainnya dapat teramati. Hutan Tapanuli seperti sebuah harta karun yang terselubung misteri. Begitu eksotis dan indah.
Lebih dari 3 minggu menjelajah Hutan Tapanuli dan berkenalan langsung dengan masyarakat desa membuka mata, hati dan pikiran bahwa hutan ini merupakan benteng ekologis bagi keberlangsungan manusia – manusia yang mendiami lembah Tapanuli Utara dan Selatan. Di hutan ini pula merupakan rumah bagi satwa eksotis dan terancam punah seperti Harimau Sumatera, Orang Utan Tapanuli, Beruang, Rusa, Burung Enggang, Anggrek, Kantung Semar, Siamang, Owa, Ikan Jurung dan berbagai satwa lain yang patut dijaga dan dilestarikan. Perusakan Hutan Tapanuli merupakan sebuah ancaman yang akan merusak semua sendi – sendi masyarakat. Sumber air, sumber udara bersih, pengontrol suhu, sumber ekonomi berdasarkan tanaman hutan (aren, petai, durian, jengkol) yang memiliki produksi jangka panjang dan memiliki dampak kecil bagi lingkungan.
Sampai kapan harta karun Tapanuli ini akan bertahan?
Kembali kepada kita sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan memiliki
pilihan untuk merusak atau menjaga. Hal yang miris saat ini terdapat industri
dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seperti tambang emas,
bendungan yang berdiri di sebuah lokasi yang rawan memiliki tingkat kerusakan
karena kelabilan tanah dan perkebunan sawit
yang terus berekspansi.
Data ilmiah merupakan jawaban untuk melindungi Hutan
Tapanuli dari rakusnya manusia atas dasar pertumbunan ekonomi yang tidak
memikirkan generasi nanti. Pilihan selalu ada dan pilihan jangka panjang agar
anak cucu juga dapat menikmati berkah kehidupan dari Hutan Tapanuli beserta isinya merupakan
pilihan yang terbaik.