Recent Posts

Popular Posts

Selasa, 29 Maret 2022

MENCARI KEBERADAAN PRIMATA DILINDUNGI DI HUTAN TAPANULI

Telinga saya terus awas untuk mencari suara yang melengking tinggi memecah keheningan hutan. Hanya kami berdua dengan seorang kerabat duduk manis sekian jam untuk mencatat durasi suara yang sangat indah tersebut. Namun sangat disayangkan, meski di tengah hutan sekalipun dan jauh dari pemukiman warga terlihat pembukaan hutan dan pohon – pohon besar yang telah rebah di tanah. Hutan hujan yang sangat indah tersebut terancam kelestariannya jika perambahan hutan terus dilakukan tanpa ada pembatasan.

Perjalanan untuk meneliti dan memastikan primata yang dilindungi Hylobates Agilis (Owa) dan Symphalangus Syndactylus (Siamang) yang masih terdapat di habitat alaminya, membawa saya menempuh perjalanan melintasi beberapa kabupaten untuk sampai di sebuah desa terpencil di pedalaman Hutan Tapanuli, Sumatera Utara. Sebuah desa yang berlokasi di tapal batas hutan lindung Tapanuli yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

                                                                            Perjalanan hari I dimulai

Kurang lebih hampir 10 jam untuk dapat mencapai sebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan hutan hujan dan berhawa sejuk. Sipirok merupakan sebuah lembah yang akan menjadi starting point untuk melengkapi seluruh kebutuhan tim sebelum berangkat menuju pedalaman Hutan Tapanuli. Semua perbekalan baik logistik makanan, logistik penelitian dan pendukung lainnya disiapkan di kota kecil dan bersahaja ini.

Keberangkatan dimulai ketika sebuah angkutan kota berukuran sedang kami tumpangi sebagai moda transportasi untuk mencapai sebuah desa pertama sebelum mencapai desa yang sesungguhnya sebagai awal perjalanan dimulai. Ada hal yang unik pada desa pertama yang kami kunjungi. Di desa tersebut warga mengatakan terdapat arca batu khas peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha  di gua – gua sekitar desa tersebut. Telah datang para peneliti dari sebuah kampus negeri ternama di Yogyakarta yang melakukan penelitian untuk menyibak misteri arca – arca tersebut. Sebuah hal yang sangat menarik informasi tersebut ditambah pula di desa tersebut masih sering ditemui primata langka seperi Owa, Siamang, Burung Enggang, Beruang, Orang Utan dan menurut penuturan warga Harimau Sumatera sempat pula terlacak keberadaannya dengan adanya tapak, cakaran dan kotorannya.

Tak diduga, desa yang menjadi tujuan penelitan masih jauh di pedalaman dan karenanya kami membutuhkan angkutan yang siap menempuh medan berat untuk mencapai tujuan. Beruntungnya, kepala desa memiliki mobil 4wd bak terbuka yang siap membawa kami. Dengan cepat pula logisitik dipindahkan dengan cepat dan kami telah siap untuk melakukan perjalanan kembali setelah beramah tamah, mencari informasi, dan makan siang di kantor desa.

Perjalanan sesungguhnya dimulai, wajar saja perangkat desa memiliki mobil yang tepat bagi medan yang berat karena secara umum jalanan desa belum terlalu baik serta memiliki tanjakan dan turunan yang curam. Sebuah perjalanan yang menegangkan dan serta pemandangan yang tiada tara begitu indahnya sepanjang mata memandang.

Medan perjalanan yang tidak biasa, memaksa kami untuk memegang erat bagian mobil yang dapat dipegang. Guncangan keras ketika mobil menghantam bebatuan merupakan momen dimana kekuatan tangan untuk menggenggam menjadi kewajiban jika tidak ingin jatuh di jalur perjalanan yang belum teramat baik. Hanya di beberapa bagian jalanan desa telah di beton dan seperti  jalan khas di daerah pedalaman, jalan lintas masih berupa tanah dan serakan bebatuan. Sensasi guncangan yang teramat sering merupakan sebuah kesenangan bagi kami pula untuk dapat menikmati kondisi jalanan yang tidak ada dalam bayangan kami sebagai masyarakat yang tinggal di kota metropolitan.

Pembukaan lahan di tengah hutan

            Tebing – tebing batu menghiasi jalanan, perkebunan pohon pisang dan 2 sungai besar yang kami lewati. Secara umum meskipun di pedalaman infrastruktur jalan desa cukup dibilang baik. Telah terdapat 2 jembatan beton besar sebagai media penyebarangan melewati 2 sungai besar yakni Aek Puli dan Aek Ukir. Aek dalam bahasa lokal masyarakat Tapanuli diartikan sebagai sungai.

Kekaguman melihat hutan tropis dan sungai yang besar berhasil mengalihkan kondisi jalanan yang terus bergoyang kesana kemari. Inilah petualangan yang sesunguhnya, sebuah petualangan untuk mencapai tempat – tempat yang sulit dijangkau. Jika tidak tanpa kesulitan maka nilai sebuah petualangan akan berkurang pula kadarnya. Tantangan dan kesulitan merupakan 2 kata bagi saya ketika melakukan sebuah perjalanan.

Dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam dari desa pertama untuk menuju desa tujuan. Desa yang dinamai sebagai sebuah tempat yang dahulu banyak dipenuhi rotan menurut penuturan masyarakat lokal. Selain itu, desa ini dibuka ketika banyaknya pengungsi ketika Perang Batak melanda Tanah Tapanuli. Ketika pemerintah kolonial Belanda melancarkan perang untuk memperluas pengaruhnya di setiap sudut nusantara. Para pengungsi tersebut diyakini sebagai pembuka desa pada awalnya dan diyakini desa ini telah berumur lebih dari 150 tahun. Penuturan warga akan hal tersebut semakin menyakinkan ketika saya melihat sebuah nisan yang memiliki tanggal sekitar tahun 1800-an!

Desa ini sangat bersahaja, listrik telah mengaliri di setiap sudut rumah warga. Air mengalir meski terkadang mati. Bagi waga desa yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air, warga melakukan aktifitas  mencuci dan mandi yang  dilakukan  di kamar mandi umun yang memiliki sekat. Setiap pagi dan sore kabut menyelimuti desa dan tepat di ujung desa terlihat megah dan indahnya rimbunan pepohonan khas hutan hujan tropis. Siang hari merupakan momok karena hawa begitu terik. Sebuah perubahan suhu yang cukup ekstrim berubah ketika pagi dan sore teramat sejuk namun segera berubah ketika siang hari.

Masyarakat desa pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani pisang. Hampir di setiap sudut desa ditanami dengan perkebunan pisang. Selayaknya desa lain, ketika ada seorang petani yang berhasil menanam sebuah komoditi dan memiliki harga jual yang baik maka secara cepat warga desa lainnya mengikuti hal tersebut tanpa mempertimbangkan berbagai hal. Kini menurut penuturan warga, hasil panen pisang menurun karena pohon pisang yang banyak mati tanpa ada sebab yang jelas meski telah dilakukan berbagai cara untuk mengatasinya.

Hutan Tapanuli 
Selain pisang terdapat pula pinus, petai dan durian sebagai komoditas desa. Untuk mengisi waktu, setiap sore pria desa akan memancing dan menjaring di sungai. Sungai (Aek Ukir) masih terawat dengan baik, masih terdapat ikan eksotis di sungai tersebut seperti Ikan Jurung Neolissochilus Sumatranus (Cyprinidae) dan Ikan Baung (Mystus. Keberadaan ikan – ikan tersebut menandakan jika ekosistem sungai masih terjaga dan memiliki arus. Hal yang sangat disayangkan ialah ketika warga desa yang belum menyadari kebersihan  ketika tim dan warga desa selaku porter tim dengan mudahnya membuang sampah plastik kopi sachet ketika kami sedang beristirahat di pinggir sungai. Kesadaran menjaga lingkungan memang belum terpatri dengan baik tidak hanya di desa namun di sebuah kota metropolitan sekalipun.

Rumah kepala desa merupakan rumah termewah di desa ini. Meski terbuat dari kayu dan semen namun interior rumah tersebut terlihat mewah yang menunjukkan status pemilik rumah tersebut sebagai pejabat desa. Kepala desa yang masih teramat muda belum berusia 30 tahun. Perawakannya kurus dan tenang, lebih banyak mendengar daripada bercerita. Terlihat kepala desa seolah menjaga jarak dengan para pendatang seperti kami namun itu semua tidak membuat suasana kaku. Ada saja warga desa yang saban tiap hari datang ke rumah kepala desa untuk bercerita bersama kami, bernyanyi dan meminum tuak (air aren yang difermentasi).

Secara umum warga desa memiliki keramahan. Senyum mereka akan mengembang ketika menyapa mereka. Terdapat pula beberapa rumah tua khas Tapanuli di desa dan lebih banyak bangunan rumah terbuat dari semen. Modernisasi telah menyentuh desa ini, terlihat dari pakaian dan segala peralatan modern lainnya yang dapat ditemukan di desa. Hanya sinyal telekomunikasi yang sama sekali tidak berfungsi di desa ini. Praktis jika ingin menggunakan komunikasi, wajib membeli sebuah voucher yang dijual istri kepala desa yang berisi deretan angka sebagai password. Istri kepala desa menggunakan sebuah tower mini untuk dapat menjangkau jaringan internet meski internet yang ada  tidak sebaik yang dibayangkan. Sebuah hal yang menarik di sebuah desa terpencil.

Tidak berlama – lama untuk beristirahat, esok hari perjalanan untuk mencapai lokasi pengamatan dimulai. Tim besar dibagi 2 yang setiap tim terdiri dari 6 orang ditambah 2 warga lokal sebagai porter dan penunjuk arah. Tim 1 mendapat  lokasi pengamatan yang jauh di dalam Hutan Tapanuli. Tim 2 mendapat lokasi pengamatan tidak terlalu jauh dari desa kurang lebih 2 jam dibutuhkan untuk mencapai titik pengamatan.  Hutan pinus merupakan medan lokasi pengamatan di minggu 1 dari total 3 minggu pengamatan yang akan dilakukan.

Metode pengamatan dilakukan dengan mencatat durasi suara yang dikeluarkan Owa dan Siamang. Pengamatan dimulai setiap hari dimulai dari jam 5 subuh hingga pukul 11 pagi. Selama pengamatan yang berlangsung, saya mendapat sebuah hipotesis. Suara Owa selalu dimulai di pagi hari hingga menjelang pukul 10 pagi. Suara Owa betina memiliki suara yang sangat melengking tinggi berbeda dengan suara Owa jantan yang lebih tenang. Suara Siamang akan muncul ketika matahari telah naik dan ketika Siamang mengeluarkan suara, Owa akan menghentikan “nyanyian’’ mereka. Seperti sebuah kode etik bagi primata untuk saling menghargai satu sama lain.

  Teknis pengamatan  mengikuti acuan peta yang telah ditetapkan sebelumnya. Tim pengamatan memiliki kewajiban melakukan pengamatan di titik yang telah ditentukan. Tidak hanya hutan pinus, medan pengamatan berpindah – pindah. Minggu kedua medan pengamatan memasuki hutan tropis dan di minggu ketiga merupakan perjalanan yang sangat menantang dan lebih sulit untuk dicapai dibanding lokasi pengamatan sebelumnya. Pada pengamatan di minggu kedua dan ketiga terlihat hal yang sangat miris. Batang – batang pohon besar terbujur di tanah dan balok – balok kayu berserakan dimana – mana.

Meski berstatus hutan lindung menurut penuturan warga desa, pejabat yang khusus menangangi konservasi sumber daya alam tidak pernah datang ke desa untuk melakukan sosialisasi. Maka tidak heran, ketika di malam pertama tim sampai di desa dan mengutarakan niat untuk melakukan pengamatan primata yang dilindungi, warga desa dengan bangga telah berburu dan menyantap hewan buruannya tidak hanya rusa, babi hutan namun sampai Orang Utan dan Macan!

Disini tidak berlaku hukum pertanahan, masyarakat desa hanya menyakini seluruh penjuru mata angin desa merupakan tanah yang berhak mereka olah. Karena pandangan seperti itu meski di tengah hutan pun dapat terlihat pembukaan lahan hutan yang akan digunakan sebagai kebun atau kayu dari pohon tersebut dijadikan bahan bangunan atau saung di kebun. Secara umum hutan di sekitar desa masih terjaga namun hal ini juga merupakan sebuah alarm peringatan agar hal ini tidak berubah di masa mendatang.Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengedukasi warga desa tentang batas – batas hutan lindung, satwa dan flora yang dilindungi. Hal ini kami dapatkan dari percakapan dengan beberapa warga desa akan minimnya pengetahuan mereka untuk terus menjaga hutan sesuai peraturan yang berlaku.

Perjalanan mencapai titik – titik pengamatan sangat menyenangkan ditambah akan hangatnya suasana antar tim. Momen yang paling menyenangkan ketika memasak makan malam. Umumnya, kami memasak menggunakan api unggun dan menu ikan kuah bersantan merupakan menu yang sangat dinantikan setiap malam. Selepas makan malam dimulai dari minggu pertama dan kedua ditutup dengan minum tuak bersama. Tuak diambil ke desa oleh porter yang berbaik hati yang rela berjalan sendirian untuk mencapai desa. Di minggu ketiga suplai tuak terhenti karena titik pengamatan yang jauh dari desa. Api unggun, minuman panas, rokok merupakan pendamping yang selalu ada ketika malam telah semakin larut dan kami tenggelam atas perbincangan hidup yang terus mengalir.

Pada semua titik pengamatan, primata baik Owa dan Siamang masih kami temukan suaranya meski secara fisik tidak dapat terlihat secara langsung dan hanya 2 kali saya melihat Siamang secara langsung di atas tajuk pohon yang hanya sebentar pula karena baik Owa dan Siamang memiliki respon yang cepat untuk pergi ketika melihat manusia. Selain primata terdapat pula berbagai flora dan fauna lain seperti anggrek, kantung semar, katak bertanduk, cicak terbang, Burung Enggang, dan berbagai jenis burung dengan bermacam warna. Jika ditelusuri lebih dalam dan lama, bukan tidak mungkin keanekaragaman hayati lainnya dapat teramati. Hutan Tapanuli seperti sebuah harta karun yang terselubung misteri. Begitu eksotis dan indah.

Lebih dari 3 minggu menjelajah Hutan Tapanuli dan berkenalan langsung dengan masyarakat desa membuka mata, hati dan pikiran bahwa hutan ini merupakan benteng ekologis bagi keberlangsungan manusia – manusia yang mendiami lembah Tapanuli Utara dan Selatan. Di hutan ini pula merupakan rumah bagi satwa eksotis dan terancam punah seperti Harimau Sumatera, Orang Utan Tapanuli, Beruang, Rusa, Burung Enggang, Anggrek, Kantung Semar, Siamang, Owa, Ikan Jurung dan berbagai satwa lain yang patut dijaga dan dilestarikan. Perusakan Hutan Tapanuli merupakan sebuah ancaman yang akan merusak semua sendi – sendi masyarakat. Sumber air, sumber udara bersih, pengontrol suhu, sumber ekonomi berdasarkan tanaman hutan (aren, petai, durian, jengkol) yang memiliki produksi jangka panjang dan memiliki dampak kecil bagi lingkungan.

Salah satu fauna unik yang ditemukan 

Sampai kapan harta karun Tapanuli ini akan bertahan? Kembali kepada kita sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan memiliki pilihan untuk merusak atau menjaga. Hal yang miris saat ini terdapat industri dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seperti tambang emas, bendungan yang berdiri di sebuah lokasi yang rawan memiliki tingkat kerusakan karena kelabilan tanah  dan perkebunan sawit yang terus berekspansi.

Data ilmiah  merupakan jawaban untuk melindungi Hutan Tapanuli dari rakusnya manusia atas dasar pertumbunan ekonomi yang tidak memikirkan generasi nanti. Pilihan selalu ada dan pilihan jangka panjang agar anak cucu juga dapat menikmati berkah kehidupan dari  Hutan Tapanuli beserta isinya merupakan pilihan yang terbaik.