Recent Posts

Popular Posts

Jumat, 27 Mei 2022

Alarm Filipina Bagi Indonesia


Terlihat ratusan orang berkumpul untuk merayakan sebuah kemenangan yang dihasilkan oleh proses demokrasi. Tua, muda merasakan kegembiraan akan kemenangan pemimpin yang mereka pilih secara langsung. Semua terlihat indah ketika kelompok masyarakat bersukacita karena telah lahirnya pemimpin yang mereka pilih atas kehendak pribadi. Saluran demokrasi menjadikan setiap individu merasakan kemenangan bukan hanya menjadi milik pemenang suara namun lebih dari itu merupakan kemenangan dari pemberi suara.

Sumber : Infografis Ferdinand Marcos Jr Unggul Telak dalam Pilpres Filipina (inews.id)

 

Cerita diatas indah nampaknya, jalur demokrasi berhasil menciptakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun yang menjadi ganjal ketika pemimpin yang terpilih merupakan generasi penerus pemimpin yang memiliki rekam jejak sejarah yang teramat buruk.  Hal ini yang menjadi catatan kritis demokrasi  dewasa kini.

Filipina merupakan sebuah negara kepulauan yang masuk ke dalam kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia. Nama Filipina diberikan oleh seorang navigator asal Spanyol, Ruy Lopez Villalobos. Untuk menghormati Raja negaranya yakni Phillip II, dia memberi nama daerah tersebut Las Felipinans yang diterjemahkan menjadi Filipina (Negara Filipina: Karakteristik - Penduduk dan Faktanya - IlmuGeografi.com).

Mungkin di benak kita nama Filipina masih asing sebagai sebuah wilayah. Kini, Filipina ramai menjadi perbincangan di dunia maya karena kemenangan anak mantan Presiden terlama Filipina yakni Ferdinand Marcos. Nama ini juga mungkin menjadi asing bagi masyarakat kita terlebih bagi anak – anak muda saat ini. Ferdinand Marcos berkuasa atas Filipina selama 21 tahun lamanya. Dalam rentang waktu selama itu, Ferdinand Marcos ditulis oleh sejarah sebagai pemimpin yang korup, otoriter dan sebagai pelarian ketika masyarakat di negaranya menolak kepemimpinannya. Sumber referensi : Biografi Ferdinand Marcos: Kebijakan Eks Presiden Diktator Filipina (tirto.id)

Diketahui pula, istri mendiang Ferdinand Marcos memiliki perilaku yang gemar akan kemewahan.  Sebuah kisah yang paling terkenal darinya yakni koleksi ribuan sepatu mewah dengan brand ternama. Pada 1986, jurnalis People Roger Wolmuth pernah mendeskripsikan gaya hidup hedon sang ibu negara kala berkunjung ke luar Manila. Artikel berjudul “The Imelda Marcos Shopping Guide: a Cache 'n' Carry Way to Spend the Fortunes of a Nation” memaparkan betapa bangganya Imelda saat memamerkan dua koper dari kulit buaya yang dipenuhi perhiasan. “Bagian dalam koper itu berisi berbagai laci. Setiap lacinya menyimpan perhiasan dengan warna berbeda yang terbuat dari berlian, emerald, rubi, safir,” catat Wolmuth (Imelda Marcos, Ibu Negara Hedon yang Gemar Menghamburkan Duit (tirto.id))

Kini generasi penerus Ferdinand Marcos memiliki kans besar untuk menjadi pemimpin Filipina yang baru melalui proses hitung cepat yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum. Sebuah hal yang teramat janggal ketika sejarah kolektif masyarakat terhapus dengan cepatnya atas kemenangan putra mendiang Presiden Ferdinand Marcos yang memiliki rekam jejak sejarah teramat buruk di Filipina.Sejarah kelam yang tersemat pada Ferdinand Marcos sebagai pemimpin yang digulingkan oleh rakyat pada 1986 karena kasus megakorupsi, menangkap oposisi, serta memerintahkan pembunuhan tanpa peradilan pada ribuan warga sipil tidak serta membuat masyarakat Filipina sadar akan sejarah tersebut.

Kemenangan Ferdinand Marcos, Jr menurut pengamat politik di Filipina tidak terlepas akan adanya pembuatan opini disinformasi sejarah. Opini yang dibentuk dan disebarluaskan melalui platform sosial media menegaskan dibawah kepemimpinan Ferdinand Marcos merupakan masa keemasan Filipina dari kurun 1965 – 1986.  Segala citra buruk yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos mendapatkan pembenaran atas situasi kondisi sosial politik ketika Marcos berkuasa.

Melihat hal ini, kita akan teringat akan adanya sebuah opini yang terbangun di masyarakat kini. Persis seperti yang dilakukan pendukung Marcos, kita tidak asing dengan opini ‘’ Piye kabare, isih penak zamanku toh’’. Sebuah opini kampanye yang melegitimasi pembenaran rezim orde baru yang berlansung 32 tahun lamanya. Dengan dalih pembangunan yang masif dilakukan oleh orde baru setiap pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan hidup, kepemilikan timpang pengelolaan sumber daya alam, korupsi yang menjalar baik di dalam keluarga dan kroni orde baru seolah – olah hilang karenanya. (sumber referensi melihat gagalnya pembangunan orde baru; Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Andrinof A. Chaniago) Sumber : Gurita Bisnis Keluarga Soeharto (tirto.id)

     Kini anasir – anasir orde baru masih tampak dan hidup di dalam politik Indonesia. Selain itu generasi penerus Suharto telah tampak pula tidak enggan untuk ikut terlibat dalam politik praktis seperti pembentukan Partai Berkarya. Reformasi hanya membawa kebebasan namun tidak menyentuh dasar penghapusan orde baru yang mungkin akan kembali bangkit dari tidur panjangnya. Cepat atau lambat seperti yang terlihat di Filipina saat ini. Bagian – bagian mesin orde baru akan terus berubah bentuk dengan perkembangan zaman. Yang tidak boleh luput dari kita semua yakni “Menolak Lupa” akan bagian – bagian pendukung orde baru selama puluhan tahun. Yang menjadi unik yakni tidak hanya pada di Keluarga Cendana namun juga individu – individu pendukung rezim orde baru yang sampai saat ini masih terus melenggang bebas kesana – kemari dan terpilih pula menjadi bagian pemerintah.

Melihat kemenangan anak diktator Filipina merupakan sebuah alarm waspada bagi demokrasi Indonesia. Tidak lupa akan sejarah merupakan sebuah keniscayaan dalam menjalankan demokrasi yang sehat. Terlebih bagi anak – anak muda sebagai bagian masyarakat dengan jumlah terbesar di Indonesia (Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z sebesar 27,94% dan generasi milenial mencapai 25,87% - Kepala BPS Suhariyanto dalam rilis data sensus penduduk 2020 dan data administrasi kependudukan 2020) BPS: Penduduk Indonesia didominasi generasi Z dan milenial - ANTARA News

Informasi yang sehat dalam melihat politik di Indonesia merupakan sebuah hal yang mutlak untuk menciptakan iklim politik, sosial, ekonomi dan demokrasi yang lebih baik dari kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin – pemimpin sebelumnya. Agar kelak hanya pemimpin yang memiliki track record yang baik, memiliki visi – misi kebangsaan yang tinggi, jiwa nasionalisme yang besar dan mengutamakan kepentingan nasional di atas segalanya merupakan nilai – nilai wajib yang harus dimiliki pemimpin nasional kelak serta tidak lupa, tidak terlibat langsung atau tidak langsung atas rezim otoritarian yang membelenggu bangsa ini selama puluhan tahun.

Tanpa ada semangat atau itikad mengajarkan sejarah dan informasi yang jujur bukan tidak mungkin apa yang terjadi di Filipina akan terjadi pula di Indonesia karena memiliki latar belakang sejarah yang hampir sama pernah berada di bawah rezim otoritarian yang korup. Karena sejatinya demokrasi akan berjalan baik ketika setiap warga negara terkait dengan kebijaksanaan dan  mencintai ilmu pengetahuan. Diluar itu akan terjadinya demokrasi yang amburadul dan ugal – ugalan. Seperti demokrasi itu sendiri yang membuka peluang kebebasan bagi siapa saja baik bandit maupun orang yang bijaksana untuk menjadi pemimpin. Yang pasti kemajuan dan kebesaran bangsa ini terkait erat dengan kebijaksanaan dan kecerdasan warga negaranya untuk memilih pemimpin.

            Sudah saatnya terlibat aktif di dalam demokrasi. Seperti yang Plato katakan “Salah satu hukuman menolak berpartisipasi dalam politik adalah kamu akhirnya diperintah oleh orang tidak kompeten.” . Demokrasi menuntut hal tersebut dan sudah selayaknya kita sebagai warga negara melakukannya.


Sabtu, 16 April 2022

Menempuh Rimba Sebuah Tantangan Bertualang

Jalur di depan mata terlihat dipenuhi dengan semak yang menutup pandangan mata. Berkali – kali parang tebas dihantamkan ke tumbuhan merambat untuk membuka jalur agar kami dapat melewati jalan. Onak duri beberapa kali pula menggores jari yang tidak tertutup. Peluh keringat terus membanjiri tubuh tanpa henti. Beban bawaan masih teramat berat pula karena ini masih awal perjalanan. Inilah sebuah tantangan bertualang menempuh rimba yang sangat jarang dilalui oleh manusia. Sangat menantang dan juga sangat mengasyikkan bagi para penjelajah.

Perjalanan ini dimulai ketika sebuah pesan masuk ke gawai berisi ajakan dari seorang junior di perhimpunan  pencinta alam yang dulu saya pernah aktif di dalamnya ketika masih memiliki status sebagai mahasiswa. Sebuah perjalanan kembali mengajak saya untuk masuk jauh ke dalam rimba hutan hujan tropis Sumatra untuk melewati semak belukar, lembahan, sungai yang mengalir bersih, kabut, pepohonan besar dan tanjakan tanah yang saban kali amblas ketika diberi beban tubuh. Semua memori tersebut segera merayap ke dalam pikiran dan tepat pula, aku memiliki banyak waktu luang dan segera menyatakan diri untuk siap terlibat dalam perjalanan tersebut.

 Perjalanan yang memakan waktu ±3 dari Kota Medan akhirnya membawa kami sampai di sebuah desa. Udara segar khas dataran tinggi, pepohonan besar yang mengelilingi desa merupakan pemandangan yang teramat indah dan menyenangkan. Tepat memang jika kembali ke desa merupakan sebuah perjalanan rekreasi untuk melepas penat kehidupan kota. Tidak butuh lama, peta topografi yang telah diberi tanda khusus dan GPS kami gunakan untuk menentukan titik awal perjalanan. Dari peta topografi dan menganalisis peta tersebut, perjalanan yang kami akan tempuh akan tercapai dalam waktu tidak sampai 2 hari penuh. Pagi hari memulai perjalanan dan esok siang atau sore perjalanan telah berakhir di tujuan.

Perjalanan awal memasuki medan bebatuan dan berganti dengan jalan beton yang terus menanjak curam. Keringat terus mengalir dengan derasnya tanpa henti, jantung berdegup sangat kencang karena medan yang terus menerus naik menanjak tanpa henti ditambah beban bawaan yang masih penuh. Perlahan dengan sangat perlahan kaki melangkah pelan. Jalanan beton di depan mata terus menanjak seperti tiada berakhir. Meski udara sejuk, keringat seperti enggan untuk tidak keluar terus menerus membasahi tubuh. Hampir 1 jam jalanan beton tersebut akhirnya bisa terlewati dengan segala usaha dan jalan berganti dengan jalanan tanah yang dikelingi rumah – rumah warga desa yang sangat bersahaja.

Perjalanan dimulai

Desa yang kami lewati merupakan sebuah pemukiman masyarakat yang berasal dari Suku Karo yang umumnya memang tinggal menetap di dataran tinggi Sumatra Utara. Mayoritas masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Ketika kami melewati desa, tidak banyak terlihat masyarakat. Kemungkinan mereka masih bekerja, hanya anak-anak dan orang tua saja yang melemparkan senyum ramah ketika kami menyapa mereka.  Rumah masyarakat desa umumnya terbuat dari kayu dan memiliki desain yang secara keseluruhan hampir sama satu sama lain. Terdapat pula 1 gereja tua yang terlihat tidak difungsikan lagi.

 Suara anjing yang menyalak dengan keras pertanda orang asing datang juga menemani kami selama menyusuri desa. Sampai hingga batas desa, suara anjing yang menyalak dengan keras berakhir dan kami terus melanjutkan perjalanan selangkah demi selangkah hingga desa tidak terlihat dan terganti dengan tumbuhan kopi dan pepohonan di samping kiri dan kanan jalanan bebatuan. Medan datar ditambah pemandangan yang sangat memanjakan mata menjadikan langkah teramat ringan dan menyenangkan. Perlahan menyusuri jalan menghantarkan kami di ujung jalan yang telah berubah menjadi jalanan tanah dan lebih tertutup oleh pepohonan hutan. Dari sini, peta kembali dibuka untuk menentukan jalur mana yang akan ditempuh karena terlihat 2 percabangan jalan yang berbeda.

Jalur perkebunan warga desa

Perjalanan kembali dilanjutkan melewati perkebunan warga yang tidak dijaga, Terlihat komoditi kopi dan cabai yang ditanam. Mungkin karena kebun tidak dijaga, beberapa kali kami harus menebas semak yang menghalangi jalan. Matahari semakin condong ke atas dan tidak ada tutupan pepohonan besar di sekitar kebun yang kami lewati. Parang tebas terus dihantam ke semak belukar yang terus menutup jalan yang akan dilewati. Hingga akhirnya setelah berkutat dengan tebas menebas medan berganti lagi dengan kebun yang masih ditutupi pepohonan besar. Peta kembali dibuka untuk memastikan posisi dan jalur perjalanan yang masih berada tepat di jalur yang telah ditentukan.

Jalur melewati perkebunan warga desa yang dipenuhi semak

Jalur yang telah ditetapkan sebelumnya mengarahkan kami untuk turun menuju lembahan. Suara gemuruh air sungai terdengar nun jauh di bawah kami berdiri. Terlihat rapatnya pepohonan seperti benteng yang menghadang kami untuk melewatinya. Perlahan satu per satu dari kami menuruni lembahan curam tersebut. Mata selalu awas untuk terus mencari pegangan ketika turun. Perlahan akhirnya kami bisa keluar dari rapatnya pepohonan dan medan yang sangat curam. Sungai yang kami dengar dari atas jelas terlihat di depan mata. Anakan sungai tidak terlalu besar namum memiliki arus yang sangat kencang. Memiliki air yang bersih dan sejuk.  

Lokasi campsite

Tidak jauh dari sungai kami telah masuk ke dalam sebuah lembahan yang sangat luas. Terlihat lembahan ini dahulu merupakan bagian hutan hujan yang ditumbuhi oleh pohon – pohon besar namun kini telah berubah menjadi semak karena tidak diolah langsung oleh pembuka lahan.  Terlihat di depan mata, rimba hutan hujan tropis yang sangat luar biasa indahnya. Pepohonan besar yang sangat rapat satu sama lain.  Hutan hujan tropis Sumatra yang sangat luar biasa indahnya dan membuat saya selalu rindu untuk kembali kepadanya.

Melalui serangkaian diskusi bersama dan melihat posisi pada peta diputuskan untuk bermalam di lembahan. Hal ini diputuskan karena hari semakin sore dan jika perjalanan dilanjutkan, lokasi berkemah akan dilakukan di punggungan yang curam serta tidak ada sumber air. Setelah kesepakatan selesai dengan cepat kami segera mencari lokasi berkemah yang aman dan tidak terlalu jauh dari sumber air. Terlihat batuan andesit bermacam ukuran yang berserakan menutupi tanah. Pepohonan kecil yang tumbuh dari pohon besar tumbang terlihat dimana – mana namun semua tumbuhan yang ada tidak lebih tinggi dari ukuran manusia dewasa. Cuaca begitu cerah dan momen yang paling menyenangkan, hanya kami disini di tengah kebesaran alam. Di depan terlihat punggungan yang ditumbuhi rapatnya pepohonan besar dan di belakang kami terlihat lembahan yang begitu luasnya dan terlihat pula pemukiman jauh dibawah sana. Sebuah pemandangan indah tiada tara ditengah – tengah antah berantah nun jauh di pedalaman.

Lembahan yang telah dipenuhi semak 

Diantara batu – batu besar kami dirikan tempat berkemah. Pembagian tugas dilakukan dengan cepat. Ada yang memasak dan ada yang membuat api unggun. Tidak ada satu orang pun yang berleha – leha, semua melakukan tugasnya masing – masing. Selingan canda dan tawa diantara kami terus mewarnai malam itu. Sempat hujan mengguyur namun dengan cepat pula guyuran hujan berganti dengan cerahnya langit yang bertabur bintang – bintang yang berserakan dengan indahnya. Malam begitu cerah dan kami berkumpul di api unggun karena suhu mulai turun dan semakin dingin.Percakapan antar percakapan mengalir dengan lancar, minuman hangat baik kopi dan teh panas  menjadi pelengkap percakapan. Hingga malam semakin larut, satu per satu diantara jatuh pada peraduannya masing-masing. Berbalut kantung tidur dan dengan cepat kami pun terlelap dalam tidur.

Perencanaan yang telah ditetapkan di hari sebelumnya membagi tim menjadi 2 untuk menempuh jalur di kiri dan kanan punggungan. Meski punggungan  terbagi menjadi 2 karena lembahan yang luas pada akhirnya punggungan akan kembali menjadi satu pada sebuah titik tertinggi dan titik tersebut yang menjadi tujuan kami. Bersama 2 orang lainya, Samuel dan Tiwi, kami mendapat bagian merintis jalur kanan sedangkan Kevin, Agus dan Roby akan merintis jalur kiri.  Selepas sarapan, mempacking ulang semua perbekalan serta mempersiapkan skema komunikasi agar tim terus terkoneksi perjalanan kembali dilanjutkan. Pada sebuah titik tim terpecah menjadi 2. Tim yang akan merintis jalur kiri terus menelusuri lembahan besar dan tim yang merintis jalur kanan kembali menaiki lembahan curam yang di hari sebelumnya dilewati.

Jalur rintisan 

Bersama Samuel dan Tiwi, kami kembali merintis jalur punggungan setelah bersusah payah menaiki lembahan curam. Inilah sebuah absurditas sebuah kegiatan yang sesunguhnya sangat melelahkan dan jauh dari kata nyaman. Entah kenapa selalu ingin mengulangnya kembali. Meminjam kalimat pendaki kawakan asal Polandia, “pendakian merupakan sebuah seni merasakan penderitaan”. Keringat kembali bercucuran dan nafas yang terengah – engah karena menanjaknya medan yang kami lewati. Tangan dan mata selalu awas untuk terus mencari pegangan agar tidak terperosok. Inilah tantangan hutan hujan, tanah terasa sangat labil seperti lumpur ketika dipijak. Sebuah momok bagi orang yang terakhir karena akan semakin sulit menjejakkan kaki di tanah yang sangat lunak dan seringkali terpeleset ketika berjalan tidak memegang pohon atau akar. Sebuah tantangan yang menguras emosi dan energi yang harus dinikmati.

Beberapa kali melihat peta dan melihat bentukan medan di sekitar merupakan sebuah rutinitas yang dilakukan. Semak yang menghadang di medan yang menanjak merupakan hal yang biasa. Sebuah hal yang dari awal telah kami sadari ketika akan memulai kegiatan ini. Di sebuah titik di dalam hutan, di depan kami terlihat tanah yang berbentuk tebing yang memiliki ketinggian ± 10m. Terlihat tanah tersebut merupakan hasil longsoran. Kembali melihat peta dan medan sekitarnya, kami putuskan untuk menaiki tebing tanah tersebut karena hanya ini jalan yang ada dan kami harus lewati.  Tiwi mencoba menaiki pohon untuk dapat melewati tebing tanah tersebut namun keberuntungan belum berpihak kepadanya. Setelah berdiskusi dan diputuskan, aku akan memanjat pohon yang menempel di tebing tanah tersebut dan akan menarik ransel satu per satu dari atas.  Tidak butuh lama, aku telah berada di atas dan menarik ransel. Disamping itu, Tiwi dengan perlahan menaiki pohon tersebut. Syukurlah, anak perempuan ini sangat mencintai olahraga panjat tebing sehingga dengan mudah Tiwi telah sampai di atas.

Samuel berusaha dengan keras menaiki pohon dengan bantuan webbing

Sebuah momen yang menegangkan terjadi ketika Samuel sebagai orang terakhir mendapat giliran untuk memanjat. Terlihat dengan susah payah dia memanjat pohon tersebut. Naik beberapa meter kemudian jatuh, naik kembali dan jatuh kembali. Peluh keringat membasahi wajah dan tubuhnya dengan begitu banyak. Tidak ada bantuan yang dapat dilakukan karena pohon yang hanya bisa dilewati oleh satu orang. Samuel terus berusaha dengan kerasnya, beberapa kali dia berteriak karena kedua tangannya tidak dapat membantu untuk menambah ketinggian. Teriakan semangat kami lontarkan dan seutas tali pita aku lempar ke arah Samuel sebagai alat bantu untuk terus naik. Aku ulurkan tangan untuk membantunya. Untuk berjaga – jaga aku simpulkan tali pita di tubuh dan kutambatkan di batang pohon. Sebuah tantangan bertualang yang sangat menegangkan dan menyenangkan. Setelah beberapa kali mencoba dan terus mencoba akhirnya setelah perjuangan keras yang dilakukannya, Samuel dapat berada di puncak tebing tanah. Aku raih tangannya dan berteriak girang karena kami berhasil melewati tebing tanah yang curam tersebut.

Skema komunikasi yang telah ditetapkan mewajibkan kami untuk memberi info posisi terbaru di waktu tertentu. Tidak ada jaringan komunikasi seluler di tengah hutan rimba ini praktis kami menggunakan HT sebagai media komunikasi. Melewati tengah hari kami mendapat info, tim yang merintis jalur kiri telah sampai di tujuan. Tujuan kami sebuah dataran yang cukup landai di tengah hutan. Sebuah titik yang ditandai dengan angka ketinggian di peta bukan sebuah pilar yang umum dijadikan patok sebuah ketinggian. Karena info tersebut, bersama Tiwi dan Samuel langkah kaki lebih dipercepat. Secara umum hutan hujan yang kami lalui terawat dengan baik. Beberapa kali pula aku berhasil mengabadikan tumbuhan dan flora unik seperti anggrek, dan bermacam jenis jamur yang ditemui di jalur yang dilewati.

 

Kotoran hewan dan jamur unik yang ditemukan 

Menjelang titik tujuan, kami melihat adanya pembukaan lahan di tengan hutan. Terlihat pohon – pohon besar telah jatuh ke tanah dan balok – balok kayu hasil dari pohon yang telah jatuh nampak berserakan. Terlihat pula seorang pria yang sedang bekerja membersihkan areal tersebut dan dengan ramah tersenyum dan menyapa kami. Hanya dia seorang sendiri dan sebuah gubuk terdapat disana. Kabut dengan perlahan jatuh dan suhu mulai turun dan dingin.

Pembukaan lahan di tengah hutan 

Tanjakan menjadi medan pendakian yang terus bersambung tiada putusnya. Terlihat pohon – pohon besar ditutupi lumut pertanda hutan ini sangat lembab. Kabut terus turun dengan seenaknya menambah kesan magis hutan yang kami lewati. Setelah melewati tanjakan dan kami sampai pada sebuah medan yang lebih landai pertanda kami telah berada di titik tertinggi. Tidak butuh lama dengan sahutan kami mendapat sahutan balasan dari tim perintis jalur kiri. Kami akhirnya bertemu kembali di sebuah titik landai yang tertutup pepohonan yang cukup rapat. Terlihat mereka sedang merebus ubi dan dengan cepat pula ubi yang telah masak berpindah tangan kepada kami yang baru datang.

Tim berkumpul kembali di titik tujuan

Setelah berisitirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan kembali untuk turun menuju peradaban. Tidak lama berjalan, hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Dengan sigap kami menutup diri dengan raincoat agar tubuh tidak basah.  Sebuah mimpi buruk ketika tubuh basah ditambah suhu yang dingin. Hipotermia (penurunan suhu tubuh yang drastis) merupakan momok menakutkan yang dapat merenggut jiwa jika tidak dicegah dan ditangani dengan baik. Setelah menempuh jalanan yang basah dan beberapa kali terpeleset akhirnya kami keluar dari batas hutan dan melihat jalan lintas dan warung makan di depan mata. Perjalanan yang dilakukan selesai dilakukan sesuai dengan rencana.  Setelah keluar dari hutan satu per satu dari kami mulai sibuk melihat ke seluruh bagian tubuh untuk mencari pacat (haemadipsa) yang menempel di tubuh.  Maklum saja, hutan yang kami lewati merupakan wilayah lembab dimana tempat tersebut merupakan habitat yang tepat bagi hewan penghisap darah seperti pacat.

Warung di seberang jalan menjadi tujuan utama  untuk mengisi perut dan membersihkan tubuh. Perjalanan berhasil dilakukan dan waktunya untuk memanjakan perut yang keroncongan sebelum kami kembali.  Di luar sana kabut masih tampak turun dari lebatnya pepohonan di atas sana seperti enggan untuk berhenti. “Kak, pesan nasi goreng pedas dan teh susu panas 1 ya” aku teriak kepada penjual untuk mengisi perut yang telah teriak minta diisi.

Selasa, 05 April 2022

Pada Akhirnya

4 hari telah kulewati waktu yang berjalan dalam perantauanku di bumi timur nusantara. Bermula dari tanah kelahiran, menghabiskan hampir 12 jam untuk dapat sampai di tujuan. Transit di 2 bandara berbeda mulai dari ibukota hingga kota terbesar di timur nusantara. Mulai dari bandara kecil hingga bandara internasional yang sangat besar. Berganti pesawat hingga 3x, tidak tidur di bandara dan akhirnya aku paksakan tubuh untuk rebah di kursi pesawat yang tidak mengizinkan tubuhku untuk menikmati posisi rebah namun apa daya, mata dan isi kepala sudah terlampau lelah.

 Inilah secuil kisah hidupku yang sangat beragam dan berwarna. Mulai dari hidup yang tanpa arah, isi buku harian bercerita kepada Sang Pencipta untuk memberi kekuatan di kala bimbang, menikmati hidup dengan bekerja di lautan (meski pendapatan kecil, aku dapat menikmati hidup), terombang – ambing di kala badai pandemi menghadang, menjadi pekerja kantoran perusahaan swasta di pulau indah idaman setiap manusia. Ketakutan akan hidup di masa depan dan terkadang pula masa bodoh dengan hidup yang hanya sekali. Semua perjalanan hidup terus membawaku ke satu titik ke titik lain. Terkadang menangis sendu akan ketertinggalan diri dan terkadang merasa bangga dapat dengan berani memilih jalan hidup yang  tidak biasa bagi kebanyakan manusia normal.

Pada akhirnya, “sejauh-jauhnya kapal berlayar akan merapat ke pelabuhan” , begitu pula dengan hidup yang kujalani. Layar terkembang itu terus terdorong angin kesana kemari untuk terus mengarungi lautan yang maha luas. Pada akhirnya, pelabuhan yang kusinggahi merupakan pelabuhan yang teramat banyak diimpikan oleh pelaut – pelaut muda yang sedang mengarungi lautan hidupnya masing – masing. Pelabuhan yang kumaksud ialah sebuah pekerjaan yang dianggap sebuah prestige, sebuah anugerah, sebuah kebanggaan karena tidak semua orang yang mau dan mampu untuk mendapatkannya.

Sebuah pekerjaan yang kata orang merupakan pekerjaan “idaman mertua”. Sebuah pekerjaan yang mengharuskan adanya seleksi yang cukup ketat untuk mendapatkannya. Sebuah pekerjaan yang dimana, pekerjaan pemerintah dalam pelayanan publik dilakukan. Sebuah pekerjaan yang intinya sebagai pelayan masyarakat banyak atau public service. Pekerjaan seperti itu pula yang menjadi pelabuhan bagiku kini.

Tidak menyangka akan mendapatkan sebuah hal yang baik ini. Setelah sekian perjalanan ditempuh dan lebih banyak ketidakpastian hidup di dalamnya. Satu hal yang terpatri dalam diri sejak menjadi mahasiswa, into the unknown merupakan kalimat yang terus mendorong diri melanggar batas – batas kehidupan normal. Mau berbuat apa dan akan kemana tidak menjadi pertanyaan dalam hidup. Selagi dapat menikmati hidup, cari dan kejarlah secara maksimal. Persis seperti jalan hidup pengikut filsuf ternama Epicurus dengan hedonismenya.

Pada akhirnya, jalan manusia itu akan berada pada titik balik dan memutar haluan 1800. Hidup yang penuh dengan gairah untuk mencapai kepuasan maksimal tanpa ragu akhirnya runtuh ketika sebuah pandemi datang menghantam seluruh dunia. Kehidupan impian itu pun terkubur dengan segala hal realistis dalam melihat  hidup. Haluan diubah dengan secepatnya, strategi hidup pun disusun dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya pula, aku mengalah dengan kehidupan ketika melihat orang tua yang semakin menua dan sebagai anak belum dapat memberikan sebuah keberuntungan. Pada hakikatnya, orang tua dan anak tidak akan terhapus dalam ikatan sosial masyarakat timur. Betapa modernnya cara hidup dan berpikir manusia timur tersebut.

Secara singkat, haluan yang telah berputar 1800 itu berhasil mencapai pelabuhan yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Sebuah pelabuhan dengan air dalam dan tenang, kepastian kapal akan keamanan dan kenyamanan kemungkinan besar akan terjamin dengan sebaik-baiknya. Begitu juga dengan kapal-ku saat ini, setelah berkali – kali menghantam badai, gelombang besar, pindah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain pada akhirnya sauh dan layar sebuah kapal akan diangkat ke daratan tanda sebuah pelayaran tidak akan sebegitu hebat dibanding pelayaran – pelayaran sebelumnya.

Namun tidak ada yang pasti pula di dalam hidup ini. Seperti orang bijak katakan “panta rei” tidak ada yang bersifat abadi , semua hal berubah dan akan senantias berubah.. Bukan tidak mungkin pula , kapal yang telah mendarat ke pelabuhan tenang dan aman itu bebas dari ancaman dan ketidakpastian. Waktu merupakan pemberi jawaban yang paling baik. Hari ini merupakan hidup dan hari esok masih misteri. Memang manusia akan terus terbelenggu dengan ketidakpastian dan tanda tanya dalam hidupnya. Selamanya..

 

Selasa, 29 Maret 2022

MENCARI KEBERADAAN PRIMATA DILINDUNGI DI HUTAN TAPANULI

Telinga saya terus awas untuk mencari suara yang melengking tinggi memecah keheningan hutan. Hanya kami berdua dengan seorang kerabat duduk manis sekian jam untuk mencatat durasi suara yang sangat indah tersebut. Namun sangat disayangkan, meski di tengah hutan sekalipun dan jauh dari pemukiman warga terlihat pembukaan hutan dan pohon – pohon besar yang telah rebah di tanah. Hutan hujan yang sangat indah tersebut terancam kelestariannya jika perambahan hutan terus dilakukan tanpa ada pembatasan.

Perjalanan untuk meneliti dan memastikan primata yang dilindungi Hylobates Agilis (Owa) dan Symphalangus Syndactylus (Siamang) yang masih terdapat di habitat alaminya, membawa saya menempuh perjalanan melintasi beberapa kabupaten untuk sampai di sebuah desa terpencil di pedalaman Hutan Tapanuli, Sumatera Utara. Sebuah desa yang berlokasi di tapal batas hutan lindung Tapanuli yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

                                                                            Perjalanan hari I dimulai

Kurang lebih hampir 10 jam untuk dapat mencapai sebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan hutan hujan dan berhawa sejuk. Sipirok merupakan sebuah lembah yang akan menjadi starting point untuk melengkapi seluruh kebutuhan tim sebelum berangkat menuju pedalaman Hutan Tapanuli. Semua perbekalan baik logistik makanan, logistik penelitian dan pendukung lainnya disiapkan di kota kecil dan bersahaja ini.

Keberangkatan dimulai ketika sebuah angkutan kota berukuran sedang kami tumpangi sebagai moda transportasi untuk mencapai sebuah desa pertama sebelum mencapai desa yang sesungguhnya sebagai awal perjalanan dimulai. Ada hal yang unik pada desa pertama yang kami kunjungi. Di desa tersebut warga mengatakan terdapat arca batu khas peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha  di gua – gua sekitar desa tersebut. Telah datang para peneliti dari sebuah kampus negeri ternama di Yogyakarta yang melakukan penelitian untuk menyibak misteri arca – arca tersebut. Sebuah hal yang sangat menarik informasi tersebut ditambah pula di desa tersebut masih sering ditemui primata langka seperi Owa, Siamang, Burung Enggang, Beruang, Orang Utan dan menurut penuturan warga Harimau Sumatera sempat pula terlacak keberadaannya dengan adanya tapak, cakaran dan kotorannya.

Tak diduga, desa yang menjadi tujuan penelitan masih jauh di pedalaman dan karenanya kami membutuhkan angkutan yang siap menempuh medan berat untuk mencapai tujuan. Beruntungnya, kepala desa memiliki mobil 4wd bak terbuka yang siap membawa kami. Dengan cepat pula logisitik dipindahkan dengan cepat dan kami telah siap untuk melakukan perjalanan kembali setelah beramah tamah, mencari informasi, dan makan siang di kantor desa.

Perjalanan sesungguhnya dimulai, wajar saja perangkat desa memiliki mobil yang tepat bagi medan yang berat karena secara umum jalanan desa belum terlalu baik serta memiliki tanjakan dan turunan yang curam. Sebuah perjalanan yang menegangkan dan serta pemandangan yang tiada tara begitu indahnya sepanjang mata memandang.

Medan perjalanan yang tidak biasa, memaksa kami untuk memegang erat bagian mobil yang dapat dipegang. Guncangan keras ketika mobil menghantam bebatuan merupakan momen dimana kekuatan tangan untuk menggenggam menjadi kewajiban jika tidak ingin jatuh di jalur perjalanan yang belum teramat baik. Hanya di beberapa bagian jalanan desa telah di beton dan seperti  jalan khas di daerah pedalaman, jalan lintas masih berupa tanah dan serakan bebatuan. Sensasi guncangan yang teramat sering merupakan sebuah kesenangan bagi kami pula untuk dapat menikmati kondisi jalanan yang tidak ada dalam bayangan kami sebagai masyarakat yang tinggal di kota metropolitan.

Pembukaan lahan di tengah hutan

            Tebing – tebing batu menghiasi jalanan, perkebunan pohon pisang dan 2 sungai besar yang kami lewati. Secara umum meskipun di pedalaman infrastruktur jalan desa cukup dibilang baik. Telah terdapat 2 jembatan beton besar sebagai media penyebarangan melewati 2 sungai besar yakni Aek Puli dan Aek Ukir. Aek dalam bahasa lokal masyarakat Tapanuli diartikan sebagai sungai.

Kekaguman melihat hutan tropis dan sungai yang besar berhasil mengalihkan kondisi jalanan yang terus bergoyang kesana kemari. Inilah petualangan yang sesunguhnya, sebuah petualangan untuk mencapai tempat – tempat yang sulit dijangkau. Jika tidak tanpa kesulitan maka nilai sebuah petualangan akan berkurang pula kadarnya. Tantangan dan kesulitan merupakan 2 kata bagi saya ketika melakukan sebuah perjalanan.

Dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam dari desa pertama untuk menuju desa tujuan. Desa yang dinamai sebagai sebuah tempat yang dahulu banyak dipenuhi rotan menurut penuturan masyarakat lokal. Selain itu, desa ini dibuka ketika banyaknya pengungsi ketika Perang Batak melanda Tanah Tapanuli. Ketika pemerintah kolonial Belanda melancarkan perang untuk memperluas pengaruhnya di setiap sudut nusantara. Para pengungsi tersebut diyakini sebagai pembuka desa pada awalnya dan diyakini desa ini telah berumur lebih dari 150 tahun. Penuturan warga akan hal tersebut semakin menyakinkan ketika saya melihat sebuah nisan yang memiliki tanggal sekitar tahun 1800-an!

Desa ini sangat bersahaja, listrik telah mengaliri di setiap sudut rumah warga. Air mengalir meski terkadang mati. Bagi waga desa yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air, warga melakukan aktifitas  mencuci dan mandi yang  dilakukan  di kamar mandi umun yang memiliki sekat. Setiap pagi dan sore kabut menyelimuti desa dan tepat di ujung desa terlihat megah dan indahnya rimbunan pepohonan khas hutan hujan tropis. Siang hari merupakan momok karena hawa begitu terik. Sebuah perubahan suhu yang cukup ekstrim berubah ketika pagi dan sore teramat sejuk namun segera berubah ketika siang hari.

Masyarakat desa pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani pisang. Hampir di setiap sudut desa ditanami dengan perkebunan pisang. Selayaknya desa lain, ketika ada seorang petani yang berhasil menanam sebuah komoditi dan memiliki harga jual yang baik maka secara cepat warga desa lainnya mengikuti hal tersebut tanpa mempertimbangkan berbagai hal. Kini menurut penuturan warga, hasil panen pisang menurun karena pohon pisang yang banyak mati tanpa ada sebab yang jelas meski telah dilakukan berbagai cara untuk mengatasinya.

Hutan Tapanuli 
Selain pisang terdapat pula pinus, petai dan durian sebagai komoditas desa. Untuk mengisi waktu, setiap sore pria desa akan memancing dan menjaring di sungai. Sungai (Aek Ukir) masih terawat dengan baik, masih terdapat ikan eksotis di sungai tersebut seperti Ikan Jurung Neolissochilus Sumatranus (Cyprinidae) dan Ikan Baung (Mystus. Keberadaan ikan – ikan tersebut menandakan jika ekosistem sungai masih terjaga dan memiliki arus. Hal yang sangat disayangkan ialah ketika warga desa yang belum menyadari kebersihan  ketika tim dan warga desa selaku porter tim dengan mudahnya membuang sampah plastik kopi sachet ketika kami sedang beristirahat di pinggir sungai. Kesadaran menjaga lingkungan memang belum terpatri dengan baik tidak hanya di desa namun di sebuah kota metropolitan sekalipun.

Rumah kepala desa merupakan rumah termewah di desa ini. Meski terbuat dari kayu dan semen namun interior rumah tersebut terlihat mewah yang menunjukkan status pemilik rumah tersebut sebagai pejabat desa. Kepala desa yang masih teramat muda belum berusia 30 tahun. Perawakannya kurus dan tenang, lebih banyak mendengar daripada bercerita. Terlihat kepala desa seolah menjaga jarak dengan para pendatang seperti kami namun itu semua tidak membuat suasana kaku. Ada saja warga desa yang saban tiap hari datang ke rumah kepala desa untuk bercerita bersama kami, bernyanyi dan meminum tuak (air aren yang difermentasi).

Secara umum warga desa memiliki keramahan. Senyum mereka akan mengembang ketika menyapa mereka. Terdapat pula beberapa rumah tua khas Tapanuli di desa dan lebih banyak bangunan rumah terbuat dari semen. Modernisasi telah menyentuh desa ini, terlihat dari pakaian dan segala peralatan modern lainnya yang dapat ditemukan di desa. Hanya sinyal telekomunikasi yang sama sekali tidak berfungsi di desa ini. Praktis jika ingin menggunakan komunikasi, wajib membeli sebuah voucher yang dijual istri kepala desa yang berisi deretan angka sebagai password. Istri kepala desa menggunakan sebuah tower mini untuk dapat menjangkau jaringan internet meski internet yang ada  tidak sebaik yang dibayangkan. Sebuah hal yang menarik di sebuah desa terpencil.

Tidak berlama – lama untuk beristirahat, esok hari perjalanan untuk mencapai lokasi pengamatan dimulai. Tim besar dibagi 2 yang setiap tim terdiri dari 6 orang ditambah 2 warga lokal sebagai porter dan penunjuk arah. Tim 1 mendapat  lokasi pengamatan yang jauh di dalam Hutan Tapanuli. Tim 2 mendapat lokasi pengamatan tidak terlalu jauh dari desa kurang lebih 2 jam dibutuhkan untuk mencapai titik pengamatan.  Hutan pinus merupakan medan lokasi pengamatan di minggu 1 dari total 3 minggu pengamatan yang akan dilakukan.

Metode pengamatan dilakukan dengan mencatat durasi suara yang dikeluarkan Owa dan Siamang. Pengamatan dimulai setiap hari dimulai dari jam 5 subuh hingga pukul 11 pagi. Selama pengamatan yang berlangsung, saya mendapat sebuah hipotesis. Suara Owa selalu dimulai di pagi hari hingga menjelang pukul 10 pagi. Suara Owa betina memiliki suara yang sangat melengking tinggi berbeda dengan suara Owa jantan yang lebih tenang. Suara Siamang akan muncul ketika matahari telah naik dan ketika Siamang mengeluarkan suara, Owa akan menghentikan “nyanyian’’ mereka. Seperti sebuah kode etik bagi primata untuk saling menghargai satu sama lain.

  Teknis pengamatan  mengikuti acuan peta yang telah ditetapkan sebelumnya. Tim pengamatan memiliki kewajiban melakukan pengamatan di titik yang telah ditentukan. Tidak hanya hutan pinus, medan pengamatan berpindah – pindah. Minggu kedua medan pengamatan memasuki hutan tropis dan di minggu ketiga merupakan perjalanan yang sangat menantang dan lebih sulit untuk dicapai dibanding lokasi pengamatan sebelumnya. Pada pengamatan di minggu kedua dan ketiga terlihat hal yang sangat miris. Batang – batang pohon besar terbujur di tanah dan balok – balok kayu berserakan dimana – mana.

Meski berstatus hutan lindung menurut penuturan warga desa, pejabat yang khusus menangangi konservasi sumber daya alam tidak pernah datang ke desa untuk melakukan sosialisasi. Maka tidak heran, ketika di malam pertama tim sampai di desa dan mengutarakan niat untuk melakukan pengamatan primata yang dilindungi, warga desa dengan bangga telah berburu dan menyantap hewan buruannya tidak hanya rusa, babi hutan namun sampai Orang Utan dan Macan!

Disini tidak berlaku hukum pertanahan, masyarakat desa hanya menyakini seluruh penjuru mata angin desa merupakan tanah yang berhak mereka olah. Karena pandangan seperti itu meski di tengah hutan pun dapat terlihat pembukaan lahan hutan yang akan digunakan sebagai kebun atau kayu dari pohon tersebut dijadikan bahan bangunan atau saung di kebun. Secara umum hutan di sekitar desa masih terjaga namun hal ini juga merupakan sebuah alarm peringatan agar hal ini tidak berubah di masa mendatang.Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengedukasi warga desa tentang batas – batas hutan lindung, satwa dan flora yang dilindungi. Hal ini kami dapatkan dari percakapan dengan beberapa warga desa akan minimnya pengetahuan mereka untuk terus menjaga hutan sesuai peraturan yang berlaku.

Perjalanan mencapai titik – titik pengamatan sangat menyenangkan ditambah akan hangatnya suasana antar tim. Momen yang paling menyenangkan ketika memasak makan malam. Umumnya, kami memasak menggunakan api unggun dan menu ikan kuah bersantan merupakan menu yang sangat dinantikan setiap malam. Selepas makan malam dimulai dari minggu pertama dan kedua ditutup dengan minum tuak bersama. Tuak diambil ke desa oleh porter yang berbaik hati yang rela berjalan sendirian untuk mencapai desa. Di minggu ketiga suplai tuak terhenti karena titik pengamatan yang jauh dari desa. Api unggun, minuman panas, rokok merupakan pendamping yang selalu ada ketika malam telah semakin larut dan kami tenggelam atas perbincangan hidup yang terus mengalir.

Pada semua titik pengamatan, primata baik Owa dan Siamang masih kami temukan suaranya meski secara fisik tidak dapat terlihat secara langsung dan hanya 2 kali saya melihat Siamang secara langsung di atas tajuk pohon yang hanya sebentar pula karena baik Owa dan Siamang memiliki respon yang cepat untuk pergi ketika melihat manusia. Selain primata terdapat pula berbagai flora dan fauna lain seperti anggrek, kantung semar, katak bertanduk, cicak terbang, Burung Enggang, dan berbagai jenis burung dengan bermacam warna. Jika ditelusuri lebih dalam dan lama, bukan tidak mungkin keanekaragaman hayati lainnya dapat teramati. Hutan Tapanuli seperti sebuah harta karun yang terselubung misteri. Begitu eksotis dan indah.

Lebih dari 3 minggu menjelajah Hutan Tapanuli dan berkenalan langsung dengan masyarakat desa membuka mata, hati dan pikiran bahwa hutan ini merupakan benteng ekologis bagi keberlangsungan manusia – manusia yang mendiami lembah Tapanuli Utara dan Selatan. Di hutan ini pula merupakan rumah bagi satwa eksotis dan terancam punah seperti Harimau Sumatera, Orang Utan Tapanuli, Beruang, Rusa, Burung Enggang, Anggrek, Kantung Semar, Siamang, Owa, Ikan Jurung dan berbagai satwa lain yang patut dijaga dan dilestarikan. Perusakan Hutan Tapanuli merupakan sebuah ancaman yang akan merusak semua sendi – sendi masyarakat. Sumber air, sumber udara bersih, pengontrol suhu, sumber ekonomi berdasarkan tanaman hutan (aren, petai, durian, jengkol) yang memiliki produksi jangka panjang dan memiliki dampak kecil bagi lingkungan.

Salah satu fauna unik yang ditemukan 

Sampai kapan harta karun Tapanuli ini akan bertahan? Kembali kepada kita sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan memiliki pilihan untuk merusak atau menjaga. Hal yang miris saat ini terdapat industri dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seperti tambang emas, bendungan yang berdiri di sebuah lokasi yang rawan memiliki tingkat kerusakan karena kelabilan tanah  dan perkebunan sawit yang terus berekspansi.

Data ilmiah  merupakan jawaban untuk melindungi Hutan Tapanuli dari rakusnya manusia atas dasar pertumbunan ekonomi yang tidak memikirkan generasi nanti. Pilihan selalu ada dan pilihan jangka panjang agar anak cucu juga dapat menikmati berkah kehidupan dari  Hutan Tapanuli beserta isinya merupakan pilihan yang terbaik.