Terlihat ratusan orang berkumpul untuk merayakan
sebuah kemenangan yang dihasilkan oleh proses demokrasi. Tua, muda merasakan
kegembiraan akan kemenangan pemimpin yang mereka pilih secara langsung. Semua
terlihat indah ketika kelompok masyarakat bersukacita karena telah lahirnya
pemimpin yang mereka pilih atas kehendak pribadi. Saluran demokrasi menjadikan
setiap individu merasakan kemenangan bukan hanya menjadi milik pemenang suara
namun lebih dari itu merupakan kemenangan dari pemberi suara.
Sumber : Infografis Ferdinand Marcos Jr Unggul Telak dalam Pilpres Filipina (inews.id)
Cerita diatas indah nampaknya, jalur demokrasi
berhasil menciptakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun yang
menjadi ganjal ketika pemimpin yang terpilih merupakan generasi penerus
pemimpin yang memiliki rekam jejak sejarah yang teramat buruk. Hal ini yang menjadi catatan kritis
demokrasi dewasa kini.
Filipina merupakan sebuah negara kepulauan yang masuk
ke dalam kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia. Nama Filipina diberikan oleh seorang navigator
asal Spanyol, Ruy Lopez Villalobos. Untuk menghormati Raja negaranya yakni
Phillip II, dia memberi nama daerah tersebut Las Felipinans yang
diterjemahkan menjadi Filipina (Negara
Filipina: Karakteristik - Penduduk dan Faktanya - IlmuGeografi.com).
Mungkin di benak kita nama Filipina masih asing sebagai sebuah wilayah. Kini, Filipina ramai menjadi perbincangan di dunia maya karena kemenangan anak mantan Presiden terlama Filipina yakni Ferdinand Marcos. Nama ini juga mungkin menjadi asing bagi masyarakat kita terlebih bagi anak – anak muda saat ini. Ferdinand Marcos berkuasa atas Filipina selama 21 tahun lamanya. Dalam rentang waktu selama itu, Ferdinand Marcos ditulis oleh sejarah sebagai pemimpin yang korup, otoriter dan sebagai pelarian ketika masyarakat di negaranya menolak kepemimpinannya. Sumber referensi : Biografi Ferdinand Marcos: Kebijakan Eks Presiden Diktator Filipina (tirto.id)
Diketahui
pula, istri mendiang Ferdinand Marcos memiliki perilaku yang gemar akan
kemewahan. Sebuah kisah yang paling
terkenal darinya yakni koleksi ribuan sepatu mewah dengan brand ternama. Pada 1986, jurnalis
People Roger Wolmuth pernah mendeskripsikan gaya hidup hedon sang ibu negara
kala berkunjung ke luar Manila. Artikel berjudul “The Imelda Marcos Shopping
Guide: a Cache 'n' Carry Way to Spend the Fortunes of a Nation” memaparkan
betapa bangganya Imelda saat memamerkan dua koper dari kulit buaya yang
dipenuhi perhiasan. “Bagian dalam koper itu berisi berbagai laci. Setiap
lacinya menyimpan perhiasan dengan warna berbeda yang terbuat dari berlian,
emerald, rubi, safir,” catat Wolmuth (Imelda
Marcos, Ibu Negara Hedon yang Gemar Menghamburkan Duit (tirto.id))
Kini generasi penerus Ferdinand Marcos memiliki kans besar untuk menjadi pemimpin Filipina yang baru melalui proses hitung cepat yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum. Sebuah hal yang teramat janggal ketika sejarah kolektif masyarakat terhapus dengan cepatnya atas kemenangan putra mendiang Presiden Ferdinand Marcos yang memiliki rekam jejak sejarah teramat buruk di Filipina.Sejarah kelam yang tersemat pada Ferdinand Marcos sebagai pemimpin yang digulingkan oleh rakyat pada 1986 karena kasus megakorupsi, menangkap oposisi, serta memerintahkan pembunuhan tanpa peradilan pada ribuan warga sipil tidak serta membuat masyarakat Filipina sadar akan sejarah tersebut.
Kemenangan Ferdinand Marcos, Jr menurut
pengamat politik di Filipina tidak terlepas akan adanya pembuatan opini disinformasi
sejarah. Opini yang dibentuk dan disebarluaskan melalui platform sosial
media menegaskan dibawah kepemimpinan Ferdinand Marcos merupakan masa keemasan
Filipina dari kurun 1965 – 1986. Segala
citra buruk yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos mendapatkan pembenaran atas
situasi kondisi sosial politik ketika Marcos berkuasa.
Melihat hal ini, kita akan teringat akan
adanya sebuah opini yang terbangun di masyarakat kini. Persis seperti yang
dilakukan pendukung Marcos, kita tidak asing dengan opini ‘’ Piye kabare,
isih penak zamanku toh’’. Sebuah opini kampanye yang melegitimasi
pembenaran rezim orde baru yang berlansung 32 tahun lamanya. Dengan dalih
pembangunan yang masif dilakukan oleh orde baru setiap pelanggaran hak asasi
manusia, perusakan lingkungan hidup, kepemilikan timpang pengelolaan sumber
daya alam, korupsi yang menjalar baik di dalam keluarga dan kroni orde baru
seolah – olah hilang karenanya. (sumber
referensi melihat gagalnya pembangunan orde baru; Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Andrinof A.
Chaniago) Sumber : Gurita Bisnis Keluarga Soeharto (tirto.id)
Kini anasir – anasir orde baru masih tampak dan hidup di dalam politik Indonesia. Selain itu generasi penerus Suharto telah tampak pula tidak enggan untuk ikut terlibat dalam politik praktis seperti pembentukan Partai Berkarya. Reformasi hanya membawa kebebasan namun tidak menyentuh dasar penghapusan orde baru yang mungkin akan kembali bangkit dari tidur panjangnya. Cepat atau lambat seperti yang terlihat di Filipina saat ini. Bagian – bagian mesin orde baru akan terus berubah bentuk dengan perkembangan zaman. Yang tidak boleh luput dari kita semua yakni “Menolak Lupa” akan bagian – bagian pendukung orde baru selama puluhan tahun. Yang menjadi unik yakni tidak hanya pada di Keluarga Cendana namun juga individu – individu pendukung rezim orde baru yang sampai saat ini masih terus melenggang bebas kesana – kemari dan terpilih pula menjadi bagian pemerintah.
Melihat kemenangan anak diktator Filipina
merupakan sebuah alarm waspada bagi demokrasi Indonesia. Tidak lupa akan
sejarah merupakan sebuah keniscayaan dalam menjalankan demokrasi yang sehat.
Terlebih bagi anak – anak muda sebagai bagian masyarakat dengan jumlah terbesar
di Indonesia (Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia didominasi oleh
generasi Z sebesar 27,94% dan generasi milenial mencapai 25,87% - Kepala BPS
Suhariyanto dalam rilis data sensus penduduk 2020 dan data administrasi
kependudukan 2020) BPS:
Penduduk Indonesia didominasi generasi Z dan milenial - ANTARA News
Informasi
yang sehat dalam melihat politik di Indonesia merupakan sebuah hal yang mutlak
untuk menciptakan iklim politik, sosial, ekonomi dan demokrasi yang lebih baik
dari kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin – pemimpin sebelumnya.
Agar kelak hanya pemimpin yang memiliki track record yang baik, memiliki
visi – misi kebangsaan yang tinggi, jiwa nasionalisme yang besar dan
mengutamakan kepentingan nasional di atas segalanya merupakan nilai – nilai
wajib yang harus dimiliki pemimpin nasional kelak serta tidak lupa, tidak
terlibat langsung atau tidak langsung atas rezim otoritarian yang membelenggu
bangsa ini selama puluhan tahun.
Tanpa
ada semangat atau itikad mengajarkan sejarah dan informasi yang jujur bukan
tidak mungkin apa yang terjadi di Filipina akan terjadi pula di Indonesia
karena memiliki latar belakang sejarah yang hampir sama pernah berada di bawah
rezim otoritarian yang korup. Karena sejatinya demokrasi akan berjalan baik
ketika setiap warga negara terkait dengan kebijaksanaan dan mencintai ilmu pengetahuan. Diluar itu akan
terjadinya demokrasi yang amburadul dan ugal – ugalan. Seperti demokrasi itu
sendiri yang membuka peluang kebebasan bagi siapa saja baik bandit maupun orang
yang bijaksana untuk menjadi pemimpin. Yang pasti kemajuan dan kebesaran bangsa
ini terkait erat dengan kebijaksanaan dan kecerdasan warga negaranya untuk
memilih pemimpin.
Sudah saatnya terlibat aktif di dalam demokrasi. Seperti
yang Plato katakan “Salah satu hukuman menolak berpartisipasi dalam politik adalah kamu
akhirnya diperintah oleh orang tidak kompeten.” . Demokrasi menuntut hal
tersebut dan sudah selayaknya kita sebagai warga negara melakukannya.