Recent Posts

Popular Posts

Sabtu, 16 April 2022

Menempuh Rimba Sebuah Tantangan Bertualang

Jalur di depan mata terlihat dipenuhi dengan semak yang menutup pandangan mata. Berkali – kali parang tebas dihantamkan ke tumbuhan merambat untuk membuka jalur agar kami dapat melewati jalan. Onak duri beberapa kali pula menggores jari yang tidak tertutup. Peluh keringat terus membanjiri tubuh tanpa henti. Beban bawaan masih teramat berat pula karena ini masih awal perjalanan. Inilah sebuah tantangan bertualang menempuh rimba yang sangat jarang dilalui oleh manusia. Sangat menantang dan juga sangat mengasyikkan bagi para penjelajah.

Perjalanan ini dimulai ketika sebuah pesan masuk ke gawai berisi ajakan dari seorang junior di perhimpunan  pencinta alam yang dulu saya pernah aktif di dalamnya ketika masih memiliki status sebagai mahasiswa. Sebuah perjalanan kembali mengajak saya untuk masuk jauh ke dalam rimba hutan hujan tropis Sumatra untuk melewati semak belukar, lembahan, sungai yang mengalir bersih, kabut, pepohonan besar dan tanjakan tanah yang saban kali amblas ketika diberi beban tubuh. Semua memori tersebut segera merayap ke dalam pikiran dan tepat pula, aku memiliki banyak waktu luang dan segera menyatakan diri untuk siap terlibat dalam perjalanan tersebut.

 Perjalanan yang memakan waktu ±3 dari Kota Medan akhirnya membawa kami sampai di sebuah desa. Udara segar khas dataran tinggi, pepohonan besar yang mengelilingi desa merupakan pemandangan yang teramat indah dan menyenangkan. Tepat memang jika kembali ke desa merupakan sebuah perjalanan rekreasi untuk melepas penat kehidupan kota. Tidak butuh lama, peta topografi yang telah diberi tanda khusus dan GPS kami gunakan untuk menentukan titik awal perjalanan. Dari peta topografi dan menganalisis peta tersebut, perjalanan yang kami akan tempuh akan tercapai dalam waktu tidak sampai 2 hari penuh. Pagi hari memulai perjalanan dan esok siang atau sore perjalanan telah berakhir di tujuan.

Perjalanan awal memasuki medan bebatuan dan berganti dengan jalan beton yang terus menanjak curam. Keringat terus mengalir dengan derasnya tanpa henti, jantung berdegup sangat kencang karena medan yang terus menerus naik menanjak tanpa henti ditambah beban bawaan yang masih penuh. Perlahan dengan sangat perlahan kaki melangkah pelan. Jalanan beton di depan mata terus menanjak seperti tiada berakhir. Meski udara sejuk, keringat seperti enggan untuk tidak keluar terus menerus membasahi tubuh. Hampir 1 jam jalanan beton tersebut akhirnya bisa terlewati dengan segala usaha dan jalan berganti dengan jalanan tanah yang dikelingi rumah – rumah warga desa yang sangat bersahaja.

Perjalanan dimulai

Desa yang kami lewati merupakan sebuah pemukiman masyarakat yang berasal dari Suku Karo yang umumnya memang tinggal menetap di dataran tinggi Sumatra Utara. Mayoritas masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Ketika kami melewati desa, tidak banyak terlihat masyarakat. Kemungkinan mereka masih bekerja, hanya anak-anak dan orang tua saja yang melemparkan senyum ramah ketika kami menyapa mereka.  Rumah masyarakat desa umumnya terbuat dari kayu dan memiliki desain yang secara keseluruhan hampir sama satu sama lain. Terdapat pula 1 gereja tua yang terlihat tidak difungsikan lagi.

 Suara anjing yang menyalak dengan keras pertanda orang asing datang juga menemani kami selama menyusuri desa. Sampai hingga batas desa, suara anjing yang menyalak dengan keras berakhir dan kami terus melanjutkan perjalanan selangkah demi selangkah hingga desa tidak terlihat dan terganti dengan tumbuhan kopi dan pepohonan di samping kiri dan kanan jalanan bebatuan. Medan datar ditambah pemandangan yang sangat memanjakan mata menjadikan langkah teramat ringan dan menyenangkan. Perlahan menyusuri jalan menghantarkan kami di ujung jalan yang telah berubah menjadi jalanan tanah dan lebih tertutup oleh pepohonan hutan. Dari sini, peta kembali dibuka untuk menentukan jalur mana yang akan ditempuh karena terlihat 2 percabangan jalan yang berbeda.

Jalur perkebunan warga desa

Perjalanan kembali dilanjutkan melewati perkebunan warga yang tidak dijaga, Terlihat komoditi kopi dan cabai yang ditanam. Mungkin karena kebun tidak dijaga, beberapa kali kami harus menebas semak yang menghalangi jalan. Matahari semakin condong ke atas dan tidak ada tutupan pepohonan besar di sekitar kebun yang kami lewati. Parang tebas terus dihantam ke semak belukar yang terus menutup jalan yang akan dilewati. Hingga akhirnya setelah berkutat dengan tebas menebas medan berganti lagi dengan kebun yang masih ditutupi pepohonan besar. Peta kembali dibuka untuk memastikan posisi dan jalur perjalanan yang masih berada tepat di jalur yang telah ditentukan.

Jalur melewati perkebunan warga desa yang dipenuhi semak

Jalur yang telah ditetapkan sebelumnya mengarahkan kami untuk turun menuju lembahan. Suara gemuruh air sungai terdengar nun jauh di bawah kami berdiri. Terlihat rapatnya pepohonan seperti benteng yang menghadang kami untuk melewatinya. Perlahan satu per satu dari kami menuruni lembahan curam tersebut. Mata selalu awas untuk terus mencari pegangan ketika turun. Perlahan akhirnya kami bisa keluar dari rapatnya pepohonan dan medan yang sangat curam. Sungai yang kami dengar dari atas jelas terlihat di depan mata. Anakan sungai tidak terlalu besar namum memiliki arus yang sangat kencang. Memiliki air yang bersih dan sejuk.  

Lokasi campsite

Tidak jauh dari sungai kami telah masuk ke dalam sebuah lembahan yang sangat luas. Terlihat lembahan ini dahulu merupakan bagian hutan hujan yang ditumbuhi oleh pohon – pohon besar namun kini telah berubah menjadi semak karena tidak diolah langsung oleh pembuka lahan.  Terlihat di depan mata, rimba hutan hujan tropis yang sangat luar biasa indahnya. Pepohonan besar yang sangat rapat satu sama lain.  Hutan hujan tropis Sumatra yang sangat luar biasa indahnya dan membuat saya selalu rindu untuk kembali kepadanya.

Melalui serangkaian diskusi bersama dan melihat posisi pada peta diputuskan untuk bermalam di lembahan. Hal ini diputuskan karena hari semakin sore dan jika perjalanan dilanjutkan, lokasi berkemah akan dilakukan di punggungan yang curam serta tidak ada sumber air. Setelah kesepakatan selesai dengan cepat kami segera mencari lokasi berkemah yang aman dan tidak terlalu jauh dari sumber air. Terlihat batuan andesit bermacam ukuran yang berserakan menutupi tanah. Pepohonan kecil yang tumbuh dari pohon besar tumbang terlihat dimana – mana namun semua tumbuhan yang ada tidak lebih tinggi dari ukuran manusia dewasa. Cuaca begitu cerah dan momen yang paling menyenangkan, hanya kami disini di tengah kebesaran alam. Di depan terlihat punggungan yang ditumbuhi rapatnya pepohonan besar dan di belakang kami terlihat lembahan yang begitu luasnya dan terlihat pula pemukiman jauh dibawah sana. Sebuah pemandangan indah tiada tara ditengah – tengah antah berantah nun jauh di pedalaman.

Lembahan yang telah dipenuhi semak 

Diantara batu – batu besar kami dirikan tempat berkemah. Pembagian tugas dilakukan dengan cepat. Ada yang memasak dan ada yang membuat api unggun. Tidak ada satu orang pun yang berleha – leha, semua melakukan tugasnya masing – masing. Selingan canda dan tawa diantara kami terus mewarnai malam itu. Sempat hujan mengguyur namun dengan cepat pula guyuran hujan berganti dengan cerahnya langit yang bertabur bintang – bintang yang berserakan dengan indahnya. Malam begitu cerah dan kami berkumpul di api unggun karena suhu mulai turun dan semakin dingin.Percakapan antar percakapan mengalir dengan lancar, minuman hangat baik kopi dan teh panas  menjadi pelengkap percakapan. Hingga malam semakin larut, satu per satu diantara jatuh pada peraduannya masing-masing. Berbalut kantung tidur dan dengan cepat kami pun terlelap dalam tidur.

Perencanaan yang telah ditetapkan di hari sebelumnya membagi tim menjadi 2 untuk menempuh jalur di kiri dan kanan punggungan. Meski punggungan  terbagi menjadi 2 karena lembahan yang luas pada akhirnya punggungan akan kembali menjadi satu pada sebuah titik tertinggi dan titik tersebut yang menjadi tujuan kami. Bersama 2 orang lainya, Samuel dan Tiwi, kami mendapat bagian merintis jalur kanan sedangkan Kevin, Agus dan Roby akan merintis jalur kiri.  Selepas sarapan, mempacking ulang semua perbekalan serta mempersiapkan skema komunikasi agar tim terus terkoneksi perjalanan kembali dilanjutkan. Pada sebuah titik tim terpecah menjadi 2. Tim yang akan merintis jalur kiri terus menelusuri lembahan besar dan tim yang merintis jalur kanan kembali menaiki lembahan curam yang di hari sebelumnya dilewati.

Jalur rintisan 

Bersama Samuel dan Tiwi, kami kembali merintis jalur punggungan setelah bersusah payah menaiki lembahan curam. Inilah sebuah absurditas sebuah kegiatan yang sesunguhnya sangat melelahkan dan jauh dari kata nyaman. Entah kenapa selalu ingin mengulangnya kembali. Meminjam kalimat pendaki kawakan asal Polandia, “pendakian merupakan sebuah seni merasakan penderitaan”. Keringat kembali bercucuran dan nafas yang terengah – engah karena menanjaknya medan yang kami lewati. Tangan dan mata selalu awas untuk terus mencari pegangan agar tidak terperosok. Inilah tantangan hutan hujan, tanah terasa sangat labil seperti lumpur ketika dipijak. Sebuah momok bagi orang yang terakhir karena akan semakin sulit menjejakkan kaki di tanah yang sangat lunak dan seringkali terpeleset ketika berjalan tidak memegang pohon atau akar. Sebuah tantangan yang menguras emosi dan energi yang harus dinikmati.

Beberapa kali melihat peta dan melihat bentukan medan di sekitar merupakan sebuah rutinitas yang dilakukan. Semak yang menghadang di medan yang menanjak merupakan hal yang biasa. Sebuah hal yang dari awal telah kami sadari ketika akan memulai kegiatan ini. Di sebuah titik di dalam hutan, di depan kami terlihat tanah yang berbentuk tebing yang memiliki ketinggian ± 10m. Terlihat tanah tersebut merupakan hasil longsoran. Kembali melihat peta dan medan sekitarnya, kami putuskan untuk menaiki tebing tanah tersebut karena hanya ini jalan yang ada dan kami harus lewati.  Tiwi mencoba menaiki pohon untuk dapat melewati tebing tanah tersebut namun keberuntungan belum berpihak kepadanya. Setelah berdiskusi dan diputuskan, aku akan memanjat pohon yang menempel di tebing tanah tersebut dan akan menarik ransel satu per satu dari atas.  Tidak butuh lama, aku telah berada di atas dan menarik ransel. Disamping itu, Tiwi dengan perlahan menaiki pohon tersebut. Syukurlah, anak perempuan ini sangat mencintai olahraga panjat tebing sehingga dengan mudah Tiwi telah sampai di atas.

Samuel berusaha dengan keras menaiki pohon dengan bantuan webbing

Sebuah momen yang menegangkan terjadi ketika Samuel sebagai orang terakhir mendapat giliran untuk memanjat. Terlihat dengan susah payah dia memanjat pohon tersebut. Naik beberapa meter kemudian jatuh, naik kembali dan jatuh kembali. Peluh keringat membasahi wajah dan tubuhnya dengan begitu banyak. Tidak ada bantuan yang dapat dilakukan karena pohon yang hanya bisa dilewati oleh satu orang. Samuel terus berusaha dengan kerasnya, beberapa kali dia berteriak karena kedua tangannya tidak dapat membantu untuk menambah ketinggian. Teriakan semangat kami lontarkan dan seutas tali pita aku lempar ke arah Samuel sebagai alat bantu untuk terus naik. Aku ulurkan tangan untuk membantunya. Untuk berjaga – jaga aku simpulkan tali pita di tubuh dan kutambatkan di batang pohon. Sebuah tantangan bertualang yang sangat menegangkan dan menyenangkan. Setelah beberapa kali mencoba dan terus mencoba akhirnya setelah perjuangan keras yang dilakukannya, Samuel dapat berada di puncak tebing tanah. Aku raih tangannya dan berteriak girang karena kami berhasil melewati tebing tanah yang curam tersebut.

Skema komunikasi yang telah ditetapkan mewajibkan kami untuk memberi info posisi terbaru di waktu tertentu. Tidak ada jaringan komunikasi seluler di tengah hutan rimba ini praktis kami menggunakan HT sebagai media komunikasi. Melewati tengah hari kami mendapat info, tim yang merintis jalur kiri telah sampai di tujuan. Tujuan kami sebuah dataran yang cukup landai di tengah hutan. Sebuah titik yang ditandai dengan angka ketinggian di peta bukan sebuah pilar yang umum dijadikan patok sebuah ketinggian. Karena info tersebut, bersama Tiwi dan Samuel langkah kaki lebih dipercepat. Secara umum hutan hujan yang kami lalui terawat dengan baik. Beberapa kali pula aku berhasil mengabadikan tumbuhan dan flora unik seperti anggrek, dan bermacam jenis jamur yang ditemui di jalur yang dilewati.

 

Kotoran hewan dan jamur unik yang ditemukan 

Menjelang titik tujuan, kami melihat adanya pembukaan lahan di tengan hutan. Terlihat pohon – pohon besar telah jatuh ke tanah dan balok – balok kayu hasil dari pohon yang telah jatuh nampak berserakan. Terlihat pula seorang pria yang sedang bekerja membersihkan areal tersebut dan dengan ramah tersenyum dan menyapa kami. Hanya dia seorang sendiri dan sebuah gubuk terdapat disana. Kabut dengan perlahan jatuh dan suhu mulai turun dan dingin.

Pembukaan lahan di tengah hutan 

Tanjakan menjadi medan pendakian yang terus bersambung tiada putusnya. Terlihat pohon – pohon besar ditutupi lumut pertanda hutan ini sangat lembab. Kabut terus turun dengan seenaknya menambah kesan magis hutan yang kami lewati. Setelah melewati tanjakan dan kami sampai pada sebuah medan yang lebih landai pertanda kami telah berada di titik tertinggi. Tidak butuh lama dengan sahutan kami mendapat sahutan balasan dari tim perintis jalur kiri. Kami akhirnya bertemu kembali di sebuah titik landai yang tertutup pepohonan yang cukup rapat. Terlihat mereka sedang merebus ubi dan dengan cepat pula ubi yang telah masak berpindah tangan kepada kami yang baru datang.

Tim berkumpul kembali di titik tujuan

Setelah berisitirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan kembali untuk turun menuju peradaban. Tidak lama berjalan, hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Dengan sigap kami menutup diri dengan raincoat agar tubuh tidak basah.  Sebuah mimpi buruk ketika tubuh basah ditambah suhu yang dingin. Hipotermia (penurunan suhu tubuh yang drastis) merupakan momok menakutkan yang dapat merenggut jiwa jika tidak dicegah dan ditangani dengan baik. Setelah menempuh jalanan yang basah dan beberapa kali terpeleset akhirnya kami keluar dari batas hutan dan melihat jalan lintas dan warung makan di depan mata. Perjalanan yang dilakukan selesai dilakukan sesuai dengan rencana.  Setelah keluar dari hutan satu per satu dari kami mulai sibuk melihat ke seluruh bagian tubuh untuk mencari pacat (haemadipsa) yang menempel di tubuh.  Maklum saja, hutan yang kami lewati merupakan wilayah lembab dimana tempat tersebut merupakan habitat yang tepat bagi hewan penghisap darah seperti pacat.

Warung di seberang jalan menjadi tujuan utama  untuk mengisi perut dan membersihkan tubuh. Perjalanan berhasil dilakukan dan waktunya untuk memanjakan perut yang keroncongan sebelum kami kembali.  Di luar sana kabut masih tampak turun dari lebatnya pepohonan di atas sana seperti enggan untuk berhenti. “Kak, pesan nasi goreng pedas dan teh susu panas 1 ya” aku teriak kepada penjual untuk mengisi perut yang telah teriak minta diisi.

Selasa, 05 April 2022

Pada Akhirnya

4 hari telah kulewati waktu yang berjalan dalam perantauanku di bumi timur nusantara. Bermula dari tanah kelahiran, menghabiskan hampir 12 jam untuk dapat sampai di tujuan. Transit di 2 bandara berbeda mulai dari ibukota hingga kota terbesar di timur nusantara. Mulai dari bandara kecil hingga bandara internasional yang sangat besar. Berganti pesawat hingga 3x, tidak tidur di bandara dan akhirnya aku paksakan tubuh untuk rebah di kursi pesawat yang tidak mengizinkan tubuhku untuk menikmati posisi rebah namun apa daya, mata dan isi kepala sudah terlampau lelah.

 Inilah secuil kisah hidupku yang sangat beragam dan berwarna. Mulai dari hidup yang tanpa arah, isi buku harian bercerita kepada Sang Pencipta untuk memberi kekuatan di kala bimbang, menikmati hidup dengan bekerja di lautan (meski pendapatan kecil, aku dapat menikmati hidup), terombang – ambing di kala badai pandemi menghadang, menjadi pekerja kantoran perusahaan swasta di pulau indah idaman setiap manusia. Ketakutan akan hidup di masa depan dan terkadang pula masa bodoh dengan hidup yang hanya sekali. Semua perjalanan hidup terus membawaku ke satu titik ke titik lain. Terkadang menangis sendu akan ketertinggalan diri dan terkadang merasa bangga dapat dengan berani memilih jalan hidup yang  tidak biasa bagi kebanyakan manusia normal.

Pada akhirnya, “sejauh-jauhnya kapal berlayar akan merapat ke pelabuhan” , begitu pula dengan hidup yang kujalani. Layar terkembang itu terus terdorong angin kesana kemari untuk terus mengarungi lautan yang maha luas. Pada akhirnya, pelabuhan yang kusinggahi merupakan pelabuhan yang teramat banyak diimpikan oleh pelaut – pelaut muda yang sedang mengarungi lautan hidupnya masing – masing. Pelabuhan yang kumaksud ialah sebuah pekerjaan yang dianggap sebuah prestige, sebuah anugerah, sebuah kebanggaan karena tidak semua orang yang mau dan mampu untuk mendapatkannya.

Sebuah pekerjaan yang kata orang merupakan pekerjaan “idaman mertua”. Sebuah pekerjaan yang mengharuskan adanya seleksi yang cukup ketat untuk mendapatkannya. Sebuah pekerjaan yang dimana, pekerjaan pemerintah dalam pelayanan publik dilakukan. Sebuah pekerjaan yang intinya sebagai pelayan masyarakat banyak atau public service. Pekerjaan seperti itu pula yang menjadi pelabuhan bagiku kini.

Tidak menyangka akan mendapatkan sebuah hal yang baik ini. Setelah sekian perjalanan ditempuh dan lebih banyak ketidakpastian hidup di dalamnya. Satu hal yang terpatri dalam diri sejak menjadi mahasiswa, into the unknown merupakan kalimat yang terus mendorong diri melanggar batas – batas kehidupan normal. Mau berbuat apa dan akan kemana tidak menjadi pertanyaan dalam hidup. Selagi dapat menikmati hidup, cari dan kejarlah secara maksimal. Persis seperti jalan hidup pengikut filsuf ternama Epicurus dengan hedonismenya.

Pada akhirnya, jalan manusia itu akan berada pada titik balik dan memutar haluan 1800. Hidup yang penuh dengan gairah untuk mencapai kepuasan maksimal tanpa ragu akhirnya runtuh ketika sebuah pandemi datang menghantam seluruh dunia. Kehidupan impian itu pun terkubur dengan segala hal realistis dalam melihat  hidup. Haluan diubah dengan secepatnya, strategi hidup pun disusun dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya pula, aku mengalah dengan kehidupan ketika melihat orang tua yang semakin menua dan sebagai anak belum dapat memberikan sebuah keberuntungan. Pada hakikatnya, orang tua dan anak tidak akan terhapus dalam ikatan sosial masyarakat timur. Betapa modernnya cara hidup dan berpikir manusia timur tersebut.

Secara singkat, haluan yang telah berputar 1800 itu berhasil mencapai pelabuhan yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Sebuah pelabuhan dengan air dalam dan tenang, kepastian kapal akan keamanan dan kenyamanan kemungkinan besar akan terjamin dengan sebaik-baiknya. Begitu juga dengan kapal-ku saat ini, setelah berkali – kali menghantam badai, gelombang besar, pindah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain pada akhirnya sauh dan layar sebuah kapal akan diangkat ke daratan tanda sebuah pelayaran tidak akan sebegitu hebat dibanding pelayaran – pelayaran sebelumnya.

Namun tidak ada yang pasti pula di dalam hidup ini. Seperti orang bijak katakan “panta rei” tidak ada yang bersifat abadi , semua hal berubah dan akan senantias berubah.. Bukan tidak mungkin pula , kapal yang telah mendarat ke pelabuhan tenang dan aman itu bebas dari ancaman dan ketidakpastian. Waktu merupakan pemberi jawaban yang paling baik. Hari ini merupakan hidup dan hari esok masih misteri. Memang manusia akan terus terbelenggu dengan ketidakpastian dan tanda tanya dalam hidupnya. Selamanya..