Recent Posts

Popular Posts

Minggu, 20 November 2016

Mendaki Gunung: Sebuah Persiapan, Tantangan dan Kenikmatan


Dewasa ini, pendakian gunug merupakan sebuah kegiatan yang sangat banyak digemari. Pendakian gunung tidak hanya menjadi sebuah hal eksklusif yang dilakukan oleh pencinta alam dan perhimpunan pendaki gunung, namun semua kelompok masyarakat yang ingin melakukan pendakian gunung berbondong – bondong untuk melakukannya. Latar belakang untuk melakukan pendakian gunung juga sangat beragam. Mulai dari sekedar menunjukkan eksistensi diri yang saat ini di dukung kemajuan teknologi informasi, kebutuhan akan pengalaman baru, sebagai media  olahraga, sebagai sebuah metode pengembangan  jiwa dan fisik, meraih prestasi tidak hanya untuk diri sendiri, namun untuk organisasi/perhimpunan sampai kejayaan sebuah bangsa atau negara.
             Namun, pendakian gunung bukan sebuah kegiatan yang bisa asal dilakukan. Pendakian gunung yang merupakan sebuah kegiatan menggunakan alam terbuka sebagai medianya niscaya menuntut banyak konsekuensi dan sarat dengan resiko. Telah banyak peristiwa yang menyedihkan perihal jatuhnya korban dalam melakukan kegiatan tersebut. Mulai dari tersesat, kedinginan, kekurangan bahan makanan, tidak siapnya fisik dan mental dalam menghadapi kondisi / medan yang asing dan berat, dan masih banyak hal – hal lain yang mengakibatkan kehilangan jiwa.
            Kegiatan di alam terbuka yang sarat dengan resiko tidak serta menjauhkan manusia untuk tidak melakukannya. Di dasari rasa ingin tau yang besar, hal ini yang mendorong keberanian dan ketabahan dari dalam diri seorang manusia untuk menghadapi tantangan alam. Namun semangat dan keberanian saja tidaklah cukup, tetapi diperlukan pengetahuan tentang sifat – sifat alam dan kondisi geografisnya, kesehatan, keterampilan menggunakan peralatan pendukung dan manfaatnya,dan berbagai hal lain yang mendukung pendakian gunung agar dapat dilakukan dengan aman dan menyenangkan.
            Pendakian gunung dalam pengertian mountaineering terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu hill walking (berjalan), rock climbing (memanjat tebing), snow and ice climbing (mendaki gunung es). Dari tiga tahap kegiatan tersebut, hill walking merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi geografis yang dimiliki Indonesia. Dalam pendakian gunung ada 2 faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu pendakian.  Faktor pertama yaitu faktor yang sifatnya subjektif (intern), atau yang berasal dari pendaki gunung itu sendiri seperti kondisi baik fisik dan mental dari pendaki gunung serta pengetahuan dan pengalaman, dan jika faktor intern ini tidak dipersiapkan dengan baik, maka pendaki gunung terancam oleh bahaya subjektif. Faktor kedua bersifat objektif (ekstern), artinya yang datang dari luar pendaki gunung. Bahaya yang mengancam dari luar ini datang dari objek yang dihadapi atau didatangi (gunung), bahaya itu bisa berupa badai, hujan, udara dingin, kabut, longsoran,  dan lain sebagainya. Faktor ekstern masih dapat untuk diperhitungkan, meskipun tidak semudah memperhitungkan faktor intern.
            Melihat dari peristiwa yang telah terjadi, kegagalan atau kecelakaan yang sering terjadi di gunung – gunung Indonesia  pada umumnya disebabkan oleh faktor intern, karena persiapan yang kurang. Persiapan itu berupa persiapan fisik, pengetahuan, keterampilan, dan mental. Persiapan fisik bagi pendaki gunung terutama menyangkut tenaga aerobiknya. Persiapan perlengkapan untuk melakukan pendakian gunung pada umumnya mahal, hal ini sangat wajar karena perlengkapan itu merupakan pelindung keselamatan pendaki gunung itu sendiri. Gunung merupakan lingkungan yang asing, khusunya bagi para pendaki gunung yang pada umumnya berasal dari masyarakat kota, dan karena itu diperlukan perlengkapan yang memadai agar pendaki gunung  mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Sepatu yang kuat, ransel yang memberikan kenyamanan pada bahu, punggung dan pinggang, tenda yang praktis dan kuat dalam menahan hujan dan angin, kantung tidur yang hangat sudah pasti membuat pendakian gunung jauh lebih aman dan menyenangkan.
            Pendaki gunung juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan. Suatu hal yang penting pula untuk mengetahui karakteristik  gunung yang akan di daki, karena hal ini dapat mengurangi bahaya objektif.  Dan untuk mengusai medan dan memperhitungkan bahaya objektif, seorang pendaki gunung harus mengusai pengetahuan tentang medan seperti membaca peta, menggunakan kompas dan menggunakan alat navigasi modern seperti GPS. Memperkiran waktu pendakian perlu dilakukan, ini berguna sebagai persiapan jumlah makanan yang dibutuhkan.
            Beberapa hal dasar yang perlu diperhatikan menurut UIAA (International Climbing and Mountaineering Federation) dalam pendakian gunung yaitu :
                  1.Perhatikan segala faktor sebelum melakukan pendakian, seperti kondisi, pengalaman dan        pengetahuan.
                   2. Rencanakan pendakian dengan baik (peta, keterangan tentang penduduk dan medan)
                  3. Menggunakan perlengkapan dan pakaiaan yang tepat,  jangan memakai jaket dan celana jeans.  Pakaian dari bahan ini, terlihat kuat namun sangat berbahaya apabila basah. Jeans sangat sulit kering, bahannya pun menjadi sangat berat kalau basah. Dan di daerah seperti Indonesia dengan curah hujan yang tinggi, memakain jeans untuk mendaki gunung merupakan suatu hal yang mengundang kesulitan. Sepatu yang kuat dengan sol yang baik, juga pakaian kedap air dan kedap angin tidak boleh untuk dilupakan pula.
4. Perhatikan keadaan dan ramalan cuaca.
                5. Buat perhitungan lamanya perjalanan, informasi tentang rute yang akan ditempuh, bertujuan sebagai kemungkinan penyelamatan jika terjadi situasi darurat (pemberitahuan kepada perangkat desa, keluarga, atau perhimpunan/organisasi).
                   6. Nikmati  perjalanan dengan gembira dan aman.
                   7. Jangan berjalan sendirian.
                   8. Sesuaikan waktu dengan anggota pendakian yang paling lemah.
                   9. Beristirahatlah tiap 1,5 – 2 jam. Makan sedikit namun dengan tempo yang    sering.
             10. Turun dari gunung sering kali lebih sulit daripada mendakinya, tetap waspada dan fokus saat perjalanan turun.
                   11. Supaya gunung tetap bersih, bawa sampah kembali ke bawah.
                   12. Jangan menggangu atau merusak flora dan fauna.

Dalam pendakian gunung hal yang paling penting diketahui , yaitu pengetahuan mengenai diri sendiri.  Apakah yakin bahwa fisik dan mental dalam keadaan baik untuk melakukan sebuah pendakian. Berapa lama dapat berjalan di medan pendakian,  ketinggian gunung yang dapat kita lalui, atau berapa lama daya tahan tubuh dapat bertahan di tengah hujan atau badai di gunung. Semua hal tersebut hanya diri sendiri yang dapat menjawabnya, segala hal yang dipaksakan dapat berakibat fatal dan menghasilkan kesia-siaan. Pendakian gunung seharusnya menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan, aman dan memberikan pengalaman baru yang tiada terlupakan. Persiapan yang dilakukan untuk menghadapi tantangan yang akan dilewati, tidak dapat dipungkiri untuk meraih kenikmatan saat berhasil menyelesaikan tantangan yang ada. Dan pada akhirnya, pendakian gunung merupakan sebuah media untuk menenangkan diri dari kehidupan perkotaan yang sangat membosankan, melatih fisik dan mental, dan mendapatkan nilai yang lebih mendalam, dalam pendakian gunung kita mendapatkan arti hidup yang sebenarnya dan menjadi manusia yang sebenarnya saat kita kembali ke alam dan menyerap nilai – nilai kehidupan darinya. Oleh karena itu pilihan mendaki gunung dengan aman, nyaman dan menyenangkan atau mendaki gunung dengan segala keterbatasan dan membuat ketidakyamanan, serta resiko besar yang siap mengambil jiwa anda. Tergantung anda menjatuhkan pilihan yang mana.

Sumber referensi : Norman Edwin ( Mendaki Gunug Sebuah Tantangan dan Petualangan) dan Werner Hunter, Hiking ( Panduan Mendaki Gunung untuk Hobi, Kreasi dan Prestasi)

Senin, 14 November 2016

Jalesveva Jayamahe


Ketika itu Sukarno berkata,
   "Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, Bukan! Tetapi bangsa laut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Alkisah, dahulu kala terdapat sebuah negeri yang berada di garis khatulistiwa dengan armada lautnya yang sangat maju di zamannya. Negeri tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar, tidak hanya berjaya di wilayah regional, namun sampai ke negeri nun jauh disana. Namun kejayaan tersebut, tidak digapai dengan serta merta. Namun melihat sebuah kenyataan, bahwa wilayah negeri tersebut terdiri dari 2/3 wilayah lautan. Dengan ribuan pulau dan garis pantai yang membentang sepanjang ribuan kilometer dan diapit oleh 2 samudera dunia.  Kenyataan tersebut pula yang menjadi dasar para pembesar negeri  itu untuk membuat kebijakan sebagai negara maritim dengan ribuan armada dan ratusan kapal yang siap mengarungi luasnya laut dan samudera untuk mencapai kekayaan dan kejayaan.
Kejayaan di laut dan samudera ratusan tahun lalu kini sudah tinggal sejarah. Negeri tersebut kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah negeri yang melupakan sebuah kenyataan. Ya! melupakan sebuah kenyataan. Negeri tersebut kini, “memunggungi” laut dan samuderanya. Hanya berfokus kepada daratan. Dan selama puluhan tahun pula, pasukan darat di negeri tersebut menjadi sebuah kelas eksekutif, dengan para petinggi dan mantan petingginya yang mempunyai andil dan pengaruh yang sangat besar dalam mencengkeram negeri tersebut. Dengan pengaruh tersebut, dengan mudah mereka mengarahkan pos anggaran negara untuk memberikan presentase yang besar untuk kepentingan mereka dan mengubah arah kebijakan politik negeri sesuai yang mereka kehendaki. Dan tidak boleh pula dilupakan, petinggi pasukan darat tersebut pernah menguasai negeri itu hingga puluhan tahun lamanya. Puluhan tahun pula, pasukan penguasa tersebut melupakan kenyataan yang dimiliki negerinya.
            Kini, setelah lengsernya petinggi pasukan darat tersebut. Penguasa baru negeri tersebut yang berasal dari rakyat jelata mulai melirik laut dan samudera. Kekayaan alam laut dan samudera, sejarah kejayaan masa lalu negeri tersebut mulai dihembuskan kembali. “Kita harus melirik laut, negeri ini harus menjadi poros maritim dunia!” ucap sang penguasa baru tersebut, beberapa kali saat dia tampil di depan umum. Yang dimaksud poros maritim dunia menurut penguasa negeri tersebut ialah “ suatu gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim”.
           
            Kenyataan yang telah terkubur selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, perlahan mulai diangkat kembali. Melihat pergulatan hidup di dunia internasional, bangsa yang menguasai laut dan samudera, niscaya menjadi bangsa yang besar dan berjaya. Seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Amerika. Dan sudah sepatutnya pula poros maritim dunia sebuah poin yang dilontarkan penguasa negeri tersebut sebagai sebuah kebijakan yang kelak akan dilaksanakannya untuk membangun kembali kejayaan negeri maritim. Sebuah keyakinan mutlak yang harus dilaksanakan, secara tidak langsung membangkitkan kembali gairah negeri tersebut yang telah melupakan “halaman depannya”. Membangun kembali budaya maritim, bukanlah suatu yang mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan kekonsistenan yang selalu harus dipertahankan. Kebijakan yang dimaklumatkan pengusa tersebut, harus pula di dukung oleh banyak pihak, tidak hanya abdi negeri, namun juga masyarakat negeri tersebut.

            Kebangkitan kembali negeri maritim merupakan sebuah keniscayaan sebagai sebuah “negeri kepulauan” yang telah ratusan tahun  dikenal oleh banyak petualang negeri asing hinga tercatat dalam lembar sejarah dunia.  “Rakyat harus didorong mencintai laut, karena laut adalah masa depan kita” ucap mantan menteri negeri tersebut pada sebuah kesempatan.  Akhir kata, kalimat penutup yang harus terus digelorakan dan mungkin sudah seharusnya menjadi kalimat penting dalam kamus sebuah negeri yang mulai berproses menjadi negeri maritim kembali dan sudah seharusnya pula untuk dilaksanakan tanpa ada keraguan sedikit pun untuk melaksanakannya. JALESVEVA JAYAMAHE!

           
           
           

Sabtu, 12 November 2016

Kisah Nostalgia di Daerah Istimewa


Daerah Istimewa
            Kereta api yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, mulai meninggalkan stasiun sebuah kota kecil yang terdapat di Provinsi Jawa Timur. Dahulu kala, kota kecil ini merupakan sebuah kerajaan yang cukup besar pada masanya. Bersama seorang kerabat, kami merencanakan sebuah perjalanan singkat ke sebuah daerah istimewa yang terdapat di Republik ini. Sebuah daerah yang masih memegang teguh adat istiadat bangsanya. Sebuah daerah yang banyak memikat wisatawan untuk selalu datang kembali. Sebuah daerah yang menawarkan budaya keramah – tamahan masyarakatnya, ketenangan, dan tentu saja keanekaragaman daerah wisata yang dimilikinya.
            ± 5 jam, kereta api meliuk – liuk bak naga melewati lintasan yang khusus disediakan untuknya. Seperti kereta kencana seorang bangsawan, tiada yang bisa menghentikan laju jalannya.  Setiap berhenti, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, setiap kali itu pula terdengar erungan panjang “sang naga”. Menandakan, “sang naga” siap untuk meliuk – liuk kembali untuk mencapai tujuannya. Saat ini, “sang naga” sudah banyak memiliki perubahan yang drastis, semenjak pemiliknya melakukan perubahan besar-besaran di tubuh “sang naga”. Dan tentu saja, perubahan yang dilakukan pemilik “sang naga” tersebut mengundang banyak pro dan kontra. Namun, kebijakan sang pemilik “sang naga” sudah bulat. “Sang naga” harus berubah untuk mengikuti perkembangan zaman dan pasar yang terus berkembang.
            Untuk menghabiskan waktu, saya dan kerabat banyak bercerita dan bertukaran pikiran tentang apa saja. Maklum saja, sang kerabat merupakan seorang mantan jurnalis yang memiliki banyak pandangan dan pengetahuan yang belum tentu semua orang memilikinya. Dan saya pun sangat senang untuk terus bercerita dan bertukaran pikiran dengannya. Tiada hentinya, saya dan kerabat terus memeras pikiran, menutup dan membuka mulut untuk mengeluarkan segala isi otak. Dan tanpa terasa, waktu berjalan dengan cepatnya, hingga akhirnya “sang naga” berhenti ke tempat peristirahatannya sementara, sebelum “meliukkan tubuhnya” kembali.
            Sampailah kami, ke daerah istimewa yang kami inginkan. Banyak manusia dari berbagai daerah menyebut daerah istimewa tersebut sebagai “kota pelajar”, “ kota budaya” dan “ kota sejuta kenangan”. Tentu saja, saya sebagai manusia yang berasal dari daerah lain mengamini jargon tersebut. “Kota pelajar”, karena daerah istimewa tersebut merupakan salah satu daerah yang banyak memiliki lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tingi. “Kota budaya”, karena daerah istimewa tersebut merupakan daerah yang masih memiliki sistem kesultanan yang diwariskan turun – temurun selama ratusan tahun, dan merupakan salah satu benteng kebudayaan terakhir bagi suku terbesar populasinya di Republik ini. “Kota sejuta kenangan”, itu pun juga suatu hal yang pasti. Telah banyak tertulis kenangan anak manusia di daerah istimewa tersebut, dan saya termasuk anak manusia yang memiliki kenangan indah tersebut.
            Bersama kerabat, saya memilih untuk menggunakan kaki menuju sebuah kampus nasional pertama yang dimiliki Republik ini. Karena sebelumnya, saya telah mempunyai janji untuk temu kangen kembali dengan kawan semasa sekolah menengah atas. Langkah kaki mulai membelah jalanan daerah istimewa tersebut, kepadatan kendaraan bermotor, ramainya manusia yang lalu lalang , dan di sepanjang jalan daerah istimewa tersebut banyak terdapat penjaja makanan. Baik makanan berat, makanan ringan untuk sekedar menahan rasa lapar dan hilir mudik musisi jalanan yang beraksi. Suasana yang sama, persis seperti tergambarkan di lirik lagu sebuah band nasional yang pernah berjaya di medio tahun 90-an.
            Langkah kaki terus melangkah, dan tanpa sadar peluh telah mulai membasahi pakaian yang saya kenakan. Namun karena suasana yang saya sendiri tiada mengerti. Rasa lelah itu tiada berarti. Hingga sampailah saya dan kerabat di bundaran kampus nasional pertama di Republik ini. Sama seperti tahun sebelumnya, ketika saya pernah menyambangi kampus tersebut, hilir mudik kendaraaan, penjaja makanan kaki lima masih tetap sama. Tiada perubahan yang drastis. Namun, semua itu yang membuat rasa rindu terus membuncah. Perasaan itu tetap sama seperti ketika saya pertama kali menjejakkan kaki di daerah istimewa tersebut.
            Dengan cepat, saya menggunakan teknologi komunikasi untuk memberikan kabar kepada kawan lama.  “Kawan, saya sudah berada di gelanggang ya”! Dan dengan cepat, seseorang yang berada di kejauhan memberikan suara mengerti,dan tidak lama lagi akan segera merapat ke tempat yang saya sampaikan. Saya dan kerabat menunggu di gelanggang, yang merupakan sebuah tempat berkumpulnya mahasiswa – mahasiswi perguruan tinggi nasional tersebut untuk mengasah minat, bakat,  softskill, dan membangun jejaring sosial diantara mereka. Sama seperti waktu lampau ketika saya pernah menyambangi tempat ini, saya selalu merasa senang dan kerasan, dan hal tersebut tiada pernah berubah sampai saat ini. Kebetulan, saat itu sedang diadakan sebuah hajatan olahraga untuk mahasiswa – mahasiswi, suasana riuh  menjalar ke setiap sudut tempat tersebut. Terdengar teriakan semangat, suara perkusi yang yang mengalun tiada henti, sebagai media pendukung untuk tim yang akan bertanding. Oooh, saya sangat senang suasana ini. Ketika kaum intelektual, tidak hanya mengisi otaknya dengan ilmu pengetahuan saja, namun tetap mengisi relung hati dan jiwanya untuk melaksanakan sebuah kegiatan yang disenanginya. Keseimbangan! Tidak hanya otak, namun hati dan jiwa harus juga diisi dengan kegiatan – kegiatan penuh canda tawa, memeras keringat dan menularkan hobi.
            Bertemu kembali kerabat lama, dari sebuah organisasi pencinta alam di kampus nasional tersebut. Berpeluk erat, bercerita tentang masa lalu, dan saling bertukaran pikiran untuk menyikapi perubahan dunia kemahasiswaan, dunia kepetualangan, dan lingkungan hidup. Untuk kegiatan yang satu ini, saya sangat menyukainya. Bertemu dengan orang baru,  berbeda latar belakang budaya, kepercayaan, dan sudut pandang. Hal tersebut merupakan sebuah keindahan yang sangat saya sukai. Dan tiada bosan saya melakukan hal tersebut,  suatu hal yang saya tidak pernah lupakan ketika berkunjung ke suatu daerah, yaitu mengunjungi perguruan tinggi daerah tersebut dan beramah tamah dengan masyarakat kampus. Sebuah hal yang sangat menyenangkan bagi saya ketika melakukan hal tersebut, menyelami sikap dan pemikiran kaum – kaum intelektual. Sampai saat ini, saya tiada bosan untuk terus melakukannya.
            Di hari terakhir, saya gunakan untuk membeli beberapa produk khas daerah istimewa tersebut. Batik! Sebuah mahakarya yang telah diakui oleh dunia internasional. Tentu saja, saya membelinya beberapa buah sebagai titipan orang tua saya yang berada jauh disana.  Tidak hanya membeli, saya juga memilih tempat membeli mahakarya tersebut pada suatu tempat yang telah lama dikenal. Tidak melebih- melebihkan, saya rasa berbagai manusia dari penjuru Republik ini yang mencintai Batik, pasti mengenal tempat tersebut. Sebuah tempat yang tetap bersahaja walaupun zaman terus berubah, dan modernisme telah menjalar dengan gila ke seluruh penjuru mata angin. Namun, tempat tersebut tetap memilih kebersahajaannya. Dan kekonsistenan tersebut pulalah yang memberikan sebuah ciri khas yang melekat kepadanya.  Hal itu pulalah yang dicari – cari manusia modern seperti sekarang ini.
            Ratusan bahkan ribuan manusia dari berbagai penjuru Republik ini, tiada henti – hentinya hilir mudik di daerah istimewa tersebut. Dan dengan berbagai kepentingan pula. Suatu hal yang pasti, daya magis daerah istimewa tersebut tiada surutnya untuk menarik kembali setiap manusia yang pernah mengunjunginya. Mengulang kembali cerita, melihat kembali kebersahajaannya, melihat kembali kebudayaan dan masyarakatnya, mencoba mengingat kembali suasana yang pernah terpatri disana. Seketika, teringat sebuah lagu yang mengisahkan daerah istimewa tersebut. Sambil duduk sendiri, saya pun mendendangkan lagu tersebut. Suatu saat saya pasti kembali lagi, mengulang kembali nostalgia disana. "Janji saya dalam hati".
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Pare, 12 November 2016