Ketika itu Sukarno berkata,
"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya,
bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi
jongos-jongos di kapal, Bukan! Tetapi bangsa laut dalam arti cakrawati
samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang
mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi
irama gelombang lautan itu sendiri.”
Alkisah,
dahulu kala terdapat sebuah negeri yang berada di garis khatulistiwa dengan
armada lautnya yang sangat maju di zamannya. Negeri tersebut memiliki pengaruh
yang cukup besar, tidak hanya berjaya di wilayah regional, namun sampai ke
negeri nun jauh disana. Namun kejayaan tersebut, tidak digapai dengan serta
merta. Namun melihat sebuah kenyataan, bahwa wilayah negeri tersebut terdiri
dari 2/3 wilayah lautan. Dengan ribuan pulau dan garis pantai yang membentang
sepanjang ribuan kilometer dan diapit oleh 2 samudera dunia. Kenyataan tersebut pula yang menjadi dasar
para pembesar negeri itu untuk membuat
kebijakan sebagai negara maritim dengan ribuan armada dan ratusan kapal yang
siap mengarungi luasnya laut dan samudera untuk mencapai kekayaan dan kejayaan.
Kejayaan
di laut dan samudera ratusan tahun lalu kini sudah tinggal sejarah. Negeri
tersebut kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah negeri yang melupakan sebuah
kenyataan. Ya! melupakan sebuah kenyataan. Negeri tersebut kini, “memunggungi”
laut dan samuderanya. Hanya berfokus kepada daratan. Dan selama puluhan tahun
pula, pasukan darat di negeri tersebut menjadi sebuah kelas eksekutif, dengan
para petinggi dan mantan petingginya yang mempunyai andil dan pengaruh yang
sangat besar dalam mencengkeram negeri tersebut. Dengan pengaruh tersebut,
dengan mudah mereka mengarahkan pos anggaran negara untuk memberikan presentase
yang besar untuk kepentingan mereka dan mengubah arah kebijakan politik negeri
sesuai yang mereka kehendaki. Dan tidak boleh pula dilupakan, petinggi pasukan
darat tersebut pernah menguasai negeri itu hingga puluhan tahun lamanya.
Puluhan tahun pula, pasukan penguasa tersebut melupakan kenyataan yang dimiliki
negerinya.
Kini, setelah lengsernya petinggi pasukan darat tersebut.
Penguasa baru negeri tersebut yang berasal dari rakyat jelata mulai melirik
laut dan samudera. Kekayaan alam laut dan samudera, sejarah kejayaan masa lalu
negeri tersebut mulai dihembuskan kembali. “Kita harus melirik laut, negeri ini
harus menjadi poros maritim dunia!” ucap sang penguasa baru tersebut, beberapa kali
saat dia tampil di depan umum. Yang dimaksud poros maritim dunia menurut
penguasa negeri tersebut ialah “ suatu gagasan strategis yang diwujudkan untuk
menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan
perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim”.
Kenyataan yang telah terkubur selama
puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, perlahan mulai diangkat kembali. Melihat pergulatan hidup di
dunia internasional, bangsa yang menguasai laut dan samudera, niscaya menjadi
bangsa yang besar dan berjaya. Seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Amerika.
Dan sudah sepatutnya pula poros maritim dunia sebuah poin yang dilontarkan penguasa negeri tersebut
sebagai sebuah kebijakan yang kelak akan dilaksanakannya untuk membangun kembali
kejayaan negeri maritim. Sebuah keyakinan mutlak yang harus dilaksanakan,
secara tidak langsung membangkitkan kembali gairah negeri tersebut yang telah
melupakan “halaman depannya”. Membangun kembali budaya maritim, bukanlah suatu
yang mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan kekonsistenan yang selalu harus
dipertahankan. Kebijakan yang dimaklumatkan pengusa tersebut, harus pula di
dukung oleh banyak pihak, tidak hanya abdi negeri, namun juga masyarakat negeri
tersebut.
Kebangkitan kembali negeri maritim
merupakan sebuah keniscayaan sebagai sebuah “negeri kepulauan” yang telah
ratusan tahun dikenal oleh banyak petualang negeri asing hinga tercatat dalam lembar sejarah dunia. “Rakyat harus didorong mencintai laut, karena
laut adalah masa depan kita” ucap mantan menteri negeri tersebut pada sebuah
kesempatan. Akhir kata, kalimat penutup
yang harus terus digelorakan dan mungkin sudah seharusnya menjadi kalimat
penting dalam kamus sebuah negeri yang mulai berproses menjadi negeri maritim
kembali dan sudah seharusnya pula untuk dilaksanakan tanpa ada keraguan sedikit
pun untuk melaksanakannya. JALESVEVA JAYAMAHE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar