Kerabat dengan cepat
menambah ketinggian, dan saya telah jauh tertinggal di belakang. Mungkin saya
mempunyai prinsip mendaki gunung dengan tenang, perlahan dan stabil. Setiap
pendaki mempunyai ciri khasnya masing – masing pula. Sesekali kepala mendongak
ke atas, sepatu hiking boot hitam yang saya kenakan mencengkeram dengan keras
tanah dan batuan dibawah. Perlahan – lahan kaki ini melangkah naik, naik dan
terus naik. Namun bau belerang yang sangat menyengat, membuat nafas saya
sedikit terganggu. Langsung saja, syal batik yang melilit leher segera berganti
fungsi menjadi masker penutup hidung sebagai penahan bau belerang tersebut.
Dengan
segala perjuangan, akhirnya saya berhasil “mendapatkan” kerabat yang telah
berada terlebih dahulu di Puncak Sindoro.Tanpa berpikir panjang saya langsung
“memburunya” dan segera merangkul dengan eratnya.Sebagai luapan rasa bangga,
dan sebagai bentuk selebrasi kemenangan kami saat itu. Kedua tangan saling kami
tepukkan pula. “Akhirnya sampai juga ya brad! ” ucap saya kepada kerabat saat itu.
Setelah bersitirahat sejenak sambil mengisi perut dengan
beberapa batang cokelat dan saling bersenda gurau. Kami pun tidak lupa mengabadikan momen saat berada di
puncak. Istirahat yang dirasa telah cukup, dan dokumentasi sudah pula terselesaikan, kini waktunya untuk
“turun gunung”. Tubuh yang telah diberi asupan kalori, keberhasilan mencapai
puncak, membuat hati saya girang untuk turun. Sesekali saya melihat ke
belakang, “mungkin di lain waktu, saya akan kembali lagi Sindoro, "semoga” guman
saya dalam hati. Dan ternyata di depan kerabat telah jauh meninggalkan saya di
depan. “Hei, brad tunggu!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar