Mencumbui
Arus Deras
Rejo meneriaki Beni yang terlihat duduk tanpa mengerjakan
sesuatu. Beni! Teriak Rejo, segera kumpulkan pelampung itu menjadi satu agar
lebih mudah dipacking. Beni mendadak
tersentak dari lamunannya, maklum semalam dia tidur larut karena keasyikan
berselancar di dunia maya. Siap laksanakan komandan! balas Beni dengan nada
yang agak tinggi pula. Semua yang dilamunkannya terbuyar begitu saja karena
mendengar terikan dari Rejo. Wahyu,
Ucok, Imam, Saras sudah sibuk dengan kesibukannya masing – masing. Ada
yang melipat perahu karet, ada yang
pergi membeli sarapan, menyatukan paddle, semua sibuk dengan pekerjaannya masing
– masing. Setelah semua peralatan dan perlengkapan selesai diangkut ke dalam pick-
up, kemudian Rejo sebagai ketua pelaksanaan kegiatan itu memberikan
arahan agar teman – temannya yang lain sejenak menikmati sarapan yang sedari
tadi disiapkan. Dengan lahap, semua menikmati makanan yang sudah tersaji
walaupun itu hanya nasi lemak tanpa tambahan lauk apapun.
Pick – up yang
sedari tadi telah menunggu untuk dikendalikan. Dengan semangat, Rejo naik ke pick – up tersebut dibarengi teman –
temannya yang lain. Berhimpitan seperti orang desa yang hendak menjual hasil
buminya ke kota. Begitu juga dengan mereka, penuh sesak dengan segala barang bawaan.
Dan pastinya tidak hasil bumi yang dibawa, namun sejumlah peralatan dan
perlengkapan untuk mengarungi sungai yang memiliki arus deras. Perlahan
kendaraan yang mengangkut mereka beserta muatan yang lain keluar dari kampus
yang pagi itu sangat teduh. Seperti hari Minggu biasanya, wilayah kampus itu
bakal lengang dan sepi karena tidak ada aktifitas belajar – mengajar. Hanya
terdengar nyanyian burung di pucuk pepohonan yang menghiasi suasana di pagi
itu. Seperti suasana desa, dengan banyak pohon, udara yang sejuk, suasana yang
tenang dan ditambahi pula dengan nyanyian keindahan dari hewan – hewan yang
bertengger di pepohonan. Suasana yang mungkin hanya bisa didapatkan 1 minggu
sekali, mereka tinggalkan demi sebuah kegiatan yang akan menantang jiwa muda
mereka yang sangat haus akan adrenalin dan tantangan.
Kendaraan beroda 4 dengan warna hitam tersebut pun, mulai
mendekat ke arah keramaian kota. Bersanding dengan kendaraan – kendaraan yang
lain. Menembus jalan dan terus dan melewati ramainya kendaraan yang berlalu -
lalang. Beni membuka cerita, dia keluarkan sebatang rokok filter dari sakunya
dan membakar rokok tersebut. Sekejap saja nikotin yang terkandung di dalam
rokok tersebut dengan cepat masuk kedalam darahnya dan memberikan ketenangan
kepadanya. Beni, bertanya kepada Wahyu tentang dunia perkuliahan yang
dijalaninya. Wahyu, bagaimana kondisi perkuliahanmu? Apakah semua mata kuliah
yang kau ambil berjalan dengan lancar? Wahyu pun menjawab dengan cepat dan
seenaknya pula. Lancar Ben, semua berjalan dengan lancar. Namun ada sesuatu hal
yang sedikit menggangguku. Apa yang kubayangkan sebelum memasuki universitas,
tidaklah sama. Aku pernah berpikir jika di universitas bisa memberiku sebuah
pengalaman baru. Namun semua hanya bayangan semata. Sama seperti aku menempuh
pendidikan di SMA, pelajaran dan pengajaran yang diberikan oleh dosen – dosen,
rasa – rasanya menumpulkan daya nalarku. Tidak ada rangsangan bagi mahasiswa –
mahasiswanya untuk memiliki rasa ingin tau yang besar akan suatu hal. Seperti
menjadi kerbau yang hidungnya dicucuk, yang dapat diarahkan kemana saja. Pengajaran dan pelajaran yang kudapatkan
selama ini mungkin lebih mengarahkan ku ke arah pembentukan manusia yang taat,
patuh, dan selalu siap menerima kondisi apapun yang ada. Mungkin sama seperti
masa zaman kolonial dulu. Saat para kaum penjajah yang memaksakan kehendak agar
para pribumi takluk begitu saja padanya. Rasa – rasanya aku ini seperti robot
yang mempunyai rasa namun tidak tidak memiliki akal dan nalar. Semua pengajaran
yang diajarkan kepadaku terus – menerus dicekcoki kepadaku tanpa aku perlu tau
untuk apa aku mempelajarinya. Sudahlah Ben, mungkin lain kali kita bahas segala
hal tentang perkuliahan, ingat ini akhir pekan bung! Nikmatilah hari ini, tutup
Wahyu. Dan segera Beni mengarahkan pandangannya dan menghisap dengan dalam
rokok yang ada di tangannya.
Kendaran yang mereka tumpangi pun semakin masuk ke dalam
pinggiran kota, deretan ruko mulai digantikan dengan perkebunan sawit, jalan
yang berlubang dan berdebu. Deretan
rumah mulai jarang, menandakan mereka sudah mulai memasuki wilayah desa.
Beberapa kali kendaraan yang mereka tumpangi menembus lubang, dan beberapa kali
juga mereka hampir terjatuh karena hentakan yang ada. Saras tersentak bangun
dari tidurnya karena hentakan tersebut. “Ah hampir aku jatuh!” umpat Saras.
Genk, yang nyantai dong nyetirnya, teriak Saras dari belakang. Namun teriakan
Saras tidak mampu menyaingi hembusan angin yang begitu kuatnya. Sehingga
teriakannya yang mengarah ke depan tidak terdengar. Seperti tidak terjadi apa –
apa Ucok dengan santainya terus memacu kendaraan tersebut.
Dan hingga sampailah mereka ke sebuah tempat, seperti sebuah
rumah ala penduduk kepulauan tropis. Bangunan tempat tersebut terbuat dari
bambu yang saling dikaitkan dan ditutupi oleh daun – daun rumbai tepat seperti
rumah – rumah yang terdapat di kepulauan Polinesia dan Hawaii. Suasana tenang
dan menyenangkan langsung terasa saat mereka
menjejakkan kaki ke tanah. Ditambah pula suara aliran air yang cukup
memiliki aliran deras. Dibawah bangunan tersebut terdapat seperti sebuah
selokan yang lebar, namun dengan debit air yang terus mengalir dan dengan air
yang jernih pula.
Beramah tamah barang sejenak dengan pengelola tempat
tersebut, dan mengutarakan tujuan mereka. Setelah tuan rumah memahami maksud
kedatangan mereka, tanpa dikomando mereka bergantian menuju kamar mandi untuk
mengganti pakaian. Semua dikerjakan dengan cepat, dan dengan cepat pula mereka
naik kembali ke atas pick – up untuk
melanjutkan perjalanan. Dengan sedikit teriak, Wahyu mengucapkan sebuah kalimat
“ bang kami jalan dulu ya” pengelola
tempat tersebut mengangguk dan melambaikan tangan kepada mereka. Jalanan
semakin rusak, seperti pemerintah tidak ada di wilayah tersebut. Jalan dipenuhi
dengan bebatuan, sungguh sangat mengherankan memang, walaupun tempat tersebut
dijadikan sebagai daerah wisata Kabupaten, namun akses seperti jalan tidaklah
terlalu diperhatikan.
Menembus jalanan bebatuan, memasuki perkebunan sawit.
Hingga sampailah ke tujuan yang mereka rencanakan sedari tadi pagi. Ya, sungai
dengan arus yang deras. Deru suara arus deras tersebut sudah terdengar,
menggugah dan memacu adrenalin yang mendengarnya. Oke, ayo segera diturunkan
segala peralatan yang ada, kita harus bergerak dengan cepat agar sampai ke basecamp
tidak terlalu sore, instruksi keluar dari mulut Rejo. Dengan sigapnya teman –
teman yang lain melakukannya seperti prajurit yang hendak bertempur. Penuh
semangat, agar segera turun ke medan perang. Dengan cepat, perahu karet yang
dibawa dipompa dan segera pula perahu karet tersebut menggembung. Yang lain
sibuk memasang helm, memasang pelampung , dan memilih paddle yang tepat. Seperti pasukan khusus, semua yang dikerjakan
dengan cepat dan senyap.
Dan tiba waktunya untuk turun ke “medan pertempuran”.
Perahu karet, dengan sejumlah manusia dengan dayung ditangan bersiap
menegangkan otot dan memacu adrenalin. “Ayo,semua dayung” teriak Rejo. Suara
dengan sangat kuat ia lontarkan dari mulutnya, hendak mengalahkan suara gemuruh
dari air yang bergelombang tak beraturan.
“Wahyu dayung yang benar, kuat!” semua manusia yang berada di dalam
perahu karet nampak seperti pendayung di zaman dulu, saat perahu buatan manusia
masih menggunakan tenaga angin dan dayungan para awak kapal. Perahu yang dikemudikan membelah sungai, melawan
arus balik yang menjadi seperti ombak. Berkali – kali Rejo memutar dayung
buatan anak negeri tersebut, kiri dan ke kanan. Ia seperti layaknya seorang
cowboy yang ingin menjinakkan kuda liar. Perahu yang ditumpangi menerjang
dengan ganasnya jeram – jeram yang menghadang di depan mata.
Puas bermain air, menantang liarnya riam, dan memacu
adrenalin, perahu yang mereka tumpangi akhirnya sampai ke aliran sungai yang
tenang. Dan kegiatan ekstrim ini berhasil mereka lewati dengan semangat muda
dan kekuatan ala anak muda pencinta kebebasan dan tantangan. “Minggu depan kita bermain lagi ya kawan!” seru
Saras menutup kegiatan mereka sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar